Surat untuk Kawan

Kawan, sudah kah kalian pernah melawan. Beribu alasan untuk tetap tegar bertahan, sejuta amarah yang tertahan. Kawan saya masih disini ditempat yang pernah kita singgahi. Pernah kita nikmati disaat perut terasa perih. Saat kita berjalan meski mata masih terasa letih. Sayang semuanya hari ini telah terhenti.
Hanya untuk sementara kawan. Banyak jalan bercabang di depan menanti. Seandainya saya terlanjur mati terlebih dahulu, jangan kau ingat tentang surat ini. Meski terasa tertati jari dan mata ini harus kutulis semua yang ada dihati. Seperti kehidupan, bila ada pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap ada awal pasti ada akhirnya. Kalian mesti sudah lebih mengetahui tentang kehidupan, karena setiap manusia itu bekerja untuk menghidupi dirinya. Ketika semua sudah terasa ada, maka seorang manusia akan terlena seperti binatang ternak yang tidak peduli pada esok hari dia akan melengkapi sepiring nasi dari si empunya ternak.
Kapan waktu saya inginkan bicara ini dalam forum. Tapi waktu kian jauh memenggal jarak kita. Tahukah kalian kiranya, saya dalam situasi seperti apa. Seperti pohon bambu yang miring ketimpa angin. Ingin menjadi patah namun terus, berada di akar. Salah. Saya mengaku, keunggulan akal dan pikiran diluasnya ilmu pengetahuan ternyata tidak bisa membantu saya menerjemahkan apa yang saya rasakan hari ini. Saat ini kawan, saya diselimuti sejuta sunyi. Yah, karena dengan sunyi pula seorang bisa menjadi besar. Jalan yang saya pilih adalah lari. Dari segenap kebebasan, kebebasan itu harus saya bayar mahal dengan hidup terus dalam jeruji ini. Semewah apapun kandang yang dibuat, tidak akan ada ayam hutan yang nyaman tinggal dikandang. Mungkin saya lebih lebih hinakan dari ayam tersebut.
Karena memang di ruang yang dulu pernah kita bersama berdinamika, ternyata saya tidak bisa lakukan apa – apa. Terimakasih atas kerjasamanya, karena kawan, tanpa kalian saya bukan siapa – siapa. Mungkin hari ini kalian dapat berlenggang dengan tentram tanpa harus memikirkan setiap kegilaan dan ketidak normalan yang saya buat. Semuanya bukan karena kesengajaan, karena memang saya tidak lagi sedang bergurau. Terlalu banyak bergurau akan menimbun kesadaran yang sudah lama kita bangun dan jaga. Kawan bila kalian tengah tertidur karena seharian bekerja, tahukah apa yang sedang saya pikirkan? Saya hanya berpikir bahwa saya sama sekali belum menjadi manusia seutuhnya. Karena manusia harus bekerja agar tidak binasa.
Kuliah dan Kerja
Kawan, tidak pernah sekalipun saya bangga di sebut sebagai mahasiswa karena itu menjadikan kita seolah ksatria yang sebenarnya sudra. Ketika sebutan itu terus mendengung ditelinga ingin rasanya saya lemparkan tubuh dari lantai tertinggi gedung di dunia. Seperti apa adanya kalimat terasa berat. Seandainya saya bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim seorang ibu yang mana, tentu saja saya akan memilih dilahirkan ditengah keluarga yang seperti kalian. Kalian lebih merasakan penindasan, yang akhirnya menjadi tahu betul penindasan. Pun demikian saya sudah terlahir dengan keberuntungan. Dari rahim seorang ibu, yang sekarang saya banggakan, dan besar ditengah keluarga yang tidak disebut wah, namun hangat dan ramah.
Kawan, kita sama – sama kuliah dikampus. Belajar dibawah struktur yang sama. Masih dibwah payung pendidikan nasional Indonesia. Tapi sadarkah engkau kawan berhasil tidak nya suatu kerja ditorehkan dari proses mengerjakannya, bukan dari hasilnya. Tidak ada pengetahuan tanpa praktek, kata Paulo Freire dalam dialognya dengan buruh.
Keyataan lahirkan kesadaran. Bahwa tidak semua dari kita terpaksa teralienasi bekerja, sembari belajar. Kenyataan juga saya sebagai seorang pelajar yang tidak bekerja menanggung beban yang tidak sedikit. Sedari bangun tidur sampai akan tidur lagi, saya terus teringat akan bercucurannya keringat orang tua saya, keluar hanya untuk membiayai hidup saya. Tidak hanya keringat orang tua, melainkan juga keringat pedagang kaki lima dan buruh pabrik kota, pembayar pajak setia namun tidak mendapat dampak nyata dari negara. Mereka memimpikan seorang nantinya akan mengubah nasib mereka, minimal anak cucu mereka dari bangku bangku lapuk perguruan tinggi yang sampai hari ini menyisakan derita.
Seperti berharap hujan berwarna turun di dunia, begitulah harapan mereka, mengingat masih adanya orang seperti saya yang menganggur tidak bekerja, dan kehilangan semangat untuk menulis, atau meliput saja. Tahukah kawan, saat ada pilihan untuk bisa menjadi kaya namun harus membatukan hati, saya memilih hidup bersahaja. Bagitu juga bila ada pilihan untuk memilih revolusi atau sama sekali tidak memakan nasi saya pilih tidak makan nasi. Begitu naifnya diri ini hingga sampai malam ini saya masih terus tenggelam. Mungkin kalian memandangnya sederhana, bahwa saya hanya sekadar orang gila yang tidak punya makna.
Bahkan untuk mengatur diri sendri terasa sulitnya. Mengenal tanggung jawab, dan menutup hak menjadikan dewasa dan matang sebelum waktunya. Jujur keinginan tidak luput hanya menjadi derita, bila tidak ada hasrat untuk mewujudkannya. Demikian pula waktu saat ini. berangan tanpa bekerja. Namun, apa salahnya saya menulis beberapa kata, toh kalian tidak dilarang untuk membantahnya.
Ketika ada semangat untuk bekerja namun tiba – tiba hilang begitu saja. Entah karena psikologi yang terlalu kekanakan, atau memang sudah nyata gilanya. Betapa pentingnya bagi saya untuk bisa berguna. Apalah arti kegunaan bila tidak nyata. Bersyukur memang tidak semudah tutur, anggap saja keberuntungan saya berhenti ketika menulis surat ini, karena dalam ide saja bekerja tidak bisa sambil asal saja. Kalian sudah bersentuhan dengan dunia nyata, sementara saya masih ada di ide semata. Idealnya pekerjaan dipilih salah satu saja, mungkin itu juga kalian rasakan mustahil adanya, karena itu sayapun demikian. Mustahil saya menyelesaikan semua, tanpa hadirnya keseriusan dari kalian.
Setertib dan seindahnya sebuah alasan, bagi saya hanya tetap sebagai alasan. Deadline sudah menunggu, tapi saya masih termanggu. Cerita usang yang dulu, kini hadir melulu. Entah mengapa, bukan karena dia yang sudah berlalu, tapi sesuatu yang baru, saya rasa amat mengganggu.
Tak bisakah kalian membantu, untuk sekadar menghapus rasa rindu akan kehadirannya. Tidak dapat mengatasi hal yang kecil, bagaimana bisa berhasil dengan yang besar. Tidak dapat dipungkiri organisasi yang sedang kita bersama urus adalah organisasi besar. Namanya sudah ada dalam sejarah berbarengan dengan munculnya perubahan. Perubahan yang tidak sedikit kawan, sampai, semakin terus melonjaknya ambang batas kemiskinan. Bantulah pesakitan ini agar bisa pergi dengan tenang tanpa beban, untuk sebuah nama, yang akan selalu ia kenang. Terang benderang, sejatinya menjad ukuran, karena soal hati siapa yang tahu, sakitnya ini terlampau sekali, sehingga saya lebih memilih belati, untuk penghabisan nanti. Hujamkan belati itu kawan, semoga kelak kalian tidak akan mengingat tentang saya yang sakit hati. Melainkan mengingat seorang kawan sejati yang sudah pergi.
Janganlah kalian menaruh dendam pada nama yang membuat saya pergi, pun dia tidak tahu menahu soal hal ini. dia yang tidak akan pernah saya miliki namun akan abadi dalam hati, seperti sunyi dipagi ini. Derita sunyi ternyata lebih menekan hati, ketimbang belati ini kawan, saya rela ditikam berkali, asal tidak meresakan kesunyian ini. . . . . ..


Jl. Praktekan, rabu 20 Juli 2011
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Prodemokrasi dan Liberalisasi

Gerakan Prodemokrasi yang massif terhitung dari awal tahun 2011 ini begitu menyorot mata banyak media. Proodemokrasi. Ada baiknya sebelum membahas persoalan gerakan Pro-demokrasi, kita membedah secara ontologis pengertian Pro-demokrasi. Umumnya gerakan pro – demokrasi dimulai ketika sebuah rakyat dalam sebuah Negara, menyadari bahwa Negara yang seharusnya menjadi tempat bersandar, menjamin kesejahteraan, tidak lagi dapat menjawab kebutuhan mereka.
Seperti sungai besar yang berhulu dan muara kepada rakyat demokrasi menjadi musuh abadi tirani. Gerakan prodemokrasi tidak menjadi gerakan basa – basi. Seperti air yang kemudian membatu di musim dingin perlahan tapi pasti demokrasi menjadi jargon rakyat yang tertatih. Membahas gerakan pro-demokrasi, berarti membahas gerakan social yang digawangi rakyat. Pro-demokrasi adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah system Negara tirani, atau bentuk republik monarki konstitusional.
Sejarah mencatat. Gerakan pro-demokrasi sering dianggap sebagai sebuah penumbangan seorang pemimpin. Padahal, gerakan pro- demokrasi bertujuan mengembalikan Negara kepada rakyatnya tidak sekadar penumbangan rezim. Pro-demokrasi sesungguhnya sudah lama menjadi topic diskusi di pelbagai tempat, bukan hanya ditimur tengah, melainkan sampai ke Asia.
Terminologi Pro- demokrasi (prodem) kian marak, selepas peristiwa di Mesir. Rakyat di pelbagai Negara di kawasan Timur – Tengah dan Afrika Utara, mulai mengorganisir diri, dan berani untuk sejalan dengan satu kata. Lawan rezim penindasan. Arah gerakan Pro-demokrasi adalah satu menegaskan kedaulatan rakyat. Perihal proses bagaimana gerakan itu bermula, Gunawan Muhammad lewat Twitter berujar, pengorganisiran massa yang massif di Timur Tengah sebelum turun ke jalan ialah lewat internet, berbagai situs jejaring social dan Mailinglist.
Selain Mesir, masih ada lagi Negara yang memulai embrio perlawanan, tidak sedikit media juga mengungkap peran pelbagai elemen gerakan pemuda disana. Yaman. Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal. Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia. Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.
Selain persoalan separatism, keterkaitan Yaman dengan Amerika menjadi hal yang patut untuk dibahas. Personalan demonstrasi masyarakat yang sudah tidak percaya lagi terhadap pemimpinnya. Amerika Serikat mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh untuk memulai dengan segera proses untuk menjamin pengalihan kekuasaan damai di negaranya yang telah diguncang oleh demonstrasi berbulan-bulan.
"Presiden Saleh telah menyampaikan secara terbuka keinginannya untuk terlibat dalam pengalihan kekuasaan damai, pemilihan waktunya, dan pembentukan (pemerintah) transisi itu harus diidentifikasi melalui dialog dan dimulai dengan segera," kata juru bicara Deplu AS Mark Toner dalam satu pernyataan.
Gerakan Prodemokrasi di Yaman
Pasca perang dunia kedua, demokrasi dan hak asasi menjadi senjata ampuh kampanye yang diklaim oleh Amerika Serikat. Peace keeping. Menjadi agenda selanjutnya Negara pemenang perang dingin sekaligus perang dunia ke-dua. Dalam konstelasi politik global, Amerika selalu memiliki kebijakan yang wah. Melindungi segenap hak asasi manusia, juga tidak ketinggalan menjamin berlangsungnya demokrasi. Demokrasi seperti kehendaknya. Pasalnya demokrasi a’la Amerika tidak bisa dipisahkan dari Liberalisasi. Meskipun dalam pngertian ontologism, demokrasi bertentangan dengan liberalisasi. Semisal, bila demokrasi harus diterapkan diberbagai Negara, maka, setiap kebijakan yang diambil oleh setiap Negara haruslah berdampak pada kemakmuran rakyat dalam Negara tersebut.
Seperti dua sisi mata uang. Demokrasi dan liberalisasi berjalan di setiap Negara berkembang. Tidak terkecuali di timur tengah. Berbagai organisasi pembebasan, seperti Palestine Liberalitator Organisation(PLO), Al-Qaeda, Hamas, dan banyak organisasi pembebasan yang muncul ditimur tengah, dan dianggap Amerika sebagai penghambat berjalannya liberalisasi perdagangan akan dengan mudah diserang dan dihancur buyarkan. Kembali pada proses beralangsungnya demokrasi di Negara Negara timur tengah, sebuah keniscayaan bahwa Amerika memiliki kepentingan akan hal tersebut.
Kekuasaan diktator Yaman berakhir pada tanggal 3 Juni 2011. Saleh, yang dievakusi dengan pesawat medis Saudi disambut seorang pejabat senior Saudi, berjalan dari pesawat, akan tetapi terlihat cedera pada leher, kepala dan wajahnya, kata sumber kedua kepada.
Demonstrasi anti-pemerintah terhadap Saleh yang telah berkuasa selama 33 tahun telah berlangsung selama hampir lima bulan. Setelah berminggu-minggu gelombang demonstran Yaman meminta kemundurannya, upaya anti-pemerintah itu sepekan ini berubah menjadi serangan ratusan anggota oposisi Yaman. Lebih dari 120 orang tewas dalam waktu sepekan terakhir.
Minggu (5/6) para demonstran muda merayakan apa yang mereka katakan sebagai jatuhnya rezim Yaman ini. "Hari ini Yaman lahir kembali," teriak puluhan pemuda di Lapangan Universitas Sanaa yang dijuluki Lapangan Perubahan dan menjadi pusat konsentrasi aksi-aksi demonstrasi menentang rezim Saleh sejak Januari.
Saleh kemudian digantikan oleh wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi. Perjuanngan rakyat melawan pemerintah yang dzolim berujung dengan gilang gemilang. Rezim diktator telah jatuh, mungkinkah rakyat sejahtera sesudahnya? Sejarah telah membuktikan berakhirnya kediktatoran seorang pemimpin tidak mengakibatkan terjaminnya sebuah kkesejahteraan bagi masyarakat. Pun demikian kekuatan rakyat telah berhasil menunjukkan taringnya dalam sejarah, bagaimana seorang pemimpin yang tidak bersama rakyatnya akan dapat dijatuhkan dengan mudah.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Utopia MWWS tanpa Kekerasan

Tidak ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia lainnya
Tidak terasa, sudah hampir enam tahun saya bersentuhan dengan sebuah organisasi. Sanditala. Sebuah organisasi sekaligus menjadi rumah. Yah, saya merasakan itu. Pernah ada seorang kawan di dalam organisasi itu bercerita. Sembari menunjukkan puncak gunung salak. Dia kemudian memulai ceritanya. “lihat lah, disana, dari sana kalian bermulai, dari nol.” Ujarnya bercerita dengan air muka yang serius (padahal anaknya kagak pernah serius). Memang semua bermula lewat sebuah kelompok kecil manusia manusia yang doyan bertualang dialam terbuka kemudian hari ini saya telah menjadi seseorang manusia, yang kebetulan dapat sedikit banyak membantu manusia lainnya.
Sampai hari ini, saya masih memegang teguh bahwa manusia harus berorganisasi dan mengorganisir diri. Manusia sebagai individu disadari atau tidak tetap membutuhkan organisasi. Pasalnya setelah lebih dari setahun lamanya saya kurang berkomunikasi dengan organisasi awal ini. Sekitar 3 minggu lalu, setelah lama berdialog lewat situs jejaring sosial, akhirnya saya bertemu dengan kawan seperjuangan (digamparin bareng waktu pendidikan). Pertemuan berlangsung cepat. Karena saya ada tugas mendadak dari kantor pun, demikian saya sudah menyuampaikan apresiasi, dan kesanggupan untuk berdialektika kembali di Sanditala.
Ikatan Alumni Sanditala (IAS) ialah sebuah wadah tersendiri yang terpisah dari Sanditala. Kendati demikian tanggung jawab dalam IAS tidak lebih kecil saat masih menjadi pengurus sanditala. Salah satu tanggung jawab IAS membentuk kepanitian Manggala Widya Wana Sanditala (MWWS). Dari tahun ke- tahun MWWS menjadi tanggung jawab alumni, mulai dari konsep, hingga pelaksanaan teknis. Perhelatan MWWS yang rutin setiap tahunnya berjalan dan sudah selama 23 tahun berlangsung.
Tradisi atau konsepsi
Entah sekadar tradisi atau sudah menjadi konsepsi bersama kalau acara MWWS yang memiliki tujuan untuk mendidik, tidak dapat dilepaskan dari kekerasan. Pernah, satu kali ada gagasan tentang MWWS tanpa kekerasan, pun demikian hal tersebut hanya menjadi Utopia. “Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan,” ungkap salah satu alumni tua. Tujuan sesungguhnya dari MWWS sepengetahuan penulis adalah menjadi awal, gerbang dari para calon pengurus Sanditala untuk kemudian menjadi loyal, dan konsisten dalam menjalankan kerja – kerja organisasi. Pasalnya, haruskah semuanya dilakukan dengan model pendidikan a’la militer. Mengingat kebutuhan mereka sebagai seorang siswa sekolah menengah, dan bukan untuk berperang.
Sanditala, yang merupakan sebuah organisasi kepencintaalaman, sesuai dengan namanaya Science and Nature Lover. Sudah pasti merupakan organisasi yang mencintai pula nilai – nilai kemanusian. Sebuah kenaifan yang akut bila kita melupakan nilai – nilai sebagai manifestasi kita terhadap manusia, kemudian melegitimasi diri sebagai pencinta alam. Sejarah kepencintaalaman di Indonesia sendiri merupakan buah dari perjuangan, dan penghargaan yang tinggi terhadap kemanusian. Sejarah organsiasi pencinta alam merupakan pengembangan dari gerakan kepanduan, yang di inisiasi oleh Lord Boden Powell. Kendati demikian model pendidikannya, sampai hari ini tidaklah sama. Gerakan yang dirintis oleh Lord Bodden Powwel hari ini di Indoensia di klaim menjadi gerakan Pramuka. Sedang gerakan kepencintaalaman, sesungguhnya lahir, karena kepedulian terhadap lingkungan, dan sesama. Sedang ketika melihat ke Indoenesia, organisasi kepencintaalaman, yang paling tua adalah Wanadri. Wanadri sendiri tidak melabeli dirinya sebagai pencinta alam, melainkan pendaki gunung dan penempuh rimba. Model pendidikan Wanadri pun tidak tanggung tanggung, model pendidikan yang semi militer, karena dari sejarah organisasinya pun dibentuk oleh militer.
Lewat sebuah pelatihan yang terbukan untuk umum Sekolah Pendaki Gunung (SPG) Wanadri membagi sekian banyak keilmuan dasar untuk bekal beraktifitas dialam terbuka. Sekolah yang dgelar selama dua minggu ini perlu dicatat, pelaksanaan teknisnya tanpa kekerasan sama sekali. Karena memang bertujuan untuk membagi ilmu, melakukan pembekalan keterampilan. Kemudian pertanyaan berulan ketika saya mengikuti sekolah tersebut. “Apa yang didapat orang (siswa) Sanditala dari kekerasan fisik saat pendidikan?” pertanyaan tersebut agaknya perlu dijawab oleh kita semua yang masih perduli dengan organisasi tersebut.
Seorang pemikir pendidikan asal Brazil, Paulo Freire mengungkapkan dalam sebuah bukunya, Pendidikan Masyarakat Kota. Bahwa pendidikan yang cocok untuk masyatakat kota, khususnya di negara berkembang ialah pendidikan berbasis kebutuhan. Yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan para siswanya. Untuk mengetahui kebutuhan dari para siswa (calon pengurus sanditala) dibutuhkan riset dan pendampingan. Untuk itu jenjang pendidikan harus dibuat setertib dan terencana mungkin. Pendidikan menurut Freire ialah memanusiakan manusia.
Sedangkan yang saya alami selama, beberapa kali mengikuti kegiatan MWWS, tidak ada sedetikpun unsur pendidikan selain Bulying, dan Perpeloncoan. Alam tidak mengajarkan pemaksaan tapi harmoni. Ada sebuah potret masyarakat, yang mungkin lebih mencintai alam dari pada masyarakat kota yang memiliki gelar pecinta alam. Masyarakt Samin saya rasa cukup menjadi referensi bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan sesamanya dan alam. Masyarakat Samin tidak sulit ditemui, mereka masih terus beranak pinak dan meneruskan tradisi, didaerah Pati, Blora, Jawa timur.
Pada akhir tulisan saya tentang MWWS ini saya kemudian ingin menyampaikan bahwa teknis, pelaksanaan MWWS, yang keliru harus diubah. Perubahan yang saya tawarkan ialah soal penghapusan kekerasan fisik secara total. Sedang perihal sistematika kerja, pelaksanaan Materi, tempat, dan waktu pendidikan kita bisa bicarakan sambil berjalan. Saya jadi teringat tutur cerita mas Sugeng Indraji, Sanditala dahulu pernah berjaya, melakukan ekspedisi, ketempat yang belum pernah di jamah oleh manusia lainnya. Sanditala pernah memiliki banyak anggota, yang loyal dan tidak sedikit dari alumni sanditala yang bisa memberikan penghidupan dan pekerjaan bagi manusia lainnya. Apakah mereka di didik dengan pola dan teknis pendidikan dengan kekerasan fisik?
Bagi saya MWWS tahun ini membutuhkan konsepsi. Ada atau tidaknya kekerasan harus dibicarakan sebelum diputuskan. Kendati demikian saya sebagai individu, bila dipercaya menjadi Operasional dalam MWWS akan mengundurkan diri bila kekerasan fisik akan tetap dilaksanakan pada MWWS ini. Karena tradisi pendidikan apapun yang disertai kekerasan, merupakan tradisi institusi militer, bukan institusi pendidikan. Mendaki gunung ialah sebuah olahraga yang membutuhkan kekuatan fisik, bukan berarti setiap acara harus memakai sentuhan fisik. Sepertinya tradisi, kontak fisik, sudah menjadi rahasia umum bagi seluruh individu, yang beergelut dalam organisasi kepecintaalaman, untuk itu, tradisi yang salah menurut saya harus diubah.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Redefinisi Kebudayaan

“Pada era pascamodern ini kebudayaan tidak lagi bebas niali” (Syaiful Arif-refilosofi kebudayaan. Hal.141)
Tidak bebasnya sebuah kebudayaan itu tanpa disadari kita rasakan setiap hari. Semisal dalam sebuah tayangan sinetron di telivisi yang banyak mengambil setting rumah mewah dengan halaman maha luas dan pagar laiknya benteng perang. Secara tiadak sadar alam bawah sadar dalam ranah psikologis Individu, berkehendak, bahwa rumah mewah tersebut ialah ukuran kesuksesan dalam kehidupan nyata, dan harus didapatkan. Untuk itulah setiap personal, khususnya di Indonesia kemudian rela mengambil jalan apapun untuk mendapatkan rumah yang tergambar sedimikian rupa seperti dalam sinetron.
Demikianlah definisi kebudayaan mengalami banyak perubahan makna. Sampai hari ini kebudayaan pun menjadi sebuah kaata yang populis, sehingga dapat dipakai oleh siapapun. Doketer, sosiolog, antropolog, maupun Sejarahwan. Setiap profesi memiliki sudut pandang berbeda dalam mendefinisikan kebudayaan. Mulai dari sudut fungsi, ide, sampai praksis. Lalu dimana letak sejarah kebudayaan?
Syaiful Arif adalah seorang yang mencoba meredifinisi sekaligus memunculkan kembali makna kebudayaan. “makna yang normatif, dan jelas” kebudayaan secara lugas didefinisikan oleh pria pengagum Gusdur ini sebagai memanusiakan manusia. Menurut Arif sebuah kebudayaan akan muncul lewat sebuah proses Pendidikan, yang memanusiakan manusia. Bagi Arif, kebudayaan lekat hubungannya dengan identitas sebagai seorang manusia. Dalam sebuah kelompok atau komunitas, kebudayaan dapat dimunculkan lewat proses bagaimana manusia memanusiakan lingkungannya, alam, dan sekitarnya.
Perbedaan paling mendasar tentang sejarah kebudayaan dan cultural studys ada pada ranah metodologi. Bila pada cultural studies tidak diwajibkan mengkaji budaya dengan rentang waktu (hukum kausalitas) tidak sebaliknya dalam Sejarah Kebudayaan. Dimensi Sejarah dalam kebudayaan menjadikan kajian kebudayaan erat kaitannya dengan waktu. Prosesual. Perubahan makna mulai dari zaman manusia primitf mendfinisikan kebudayaan, hingga pada zaman pascamodern (posmodern) menjadikan buku ini sangat layak dijadikan sebuah referensi tentang sejarah kebudayaan. Meskipun penulis memunculkan prosesual perubahan makna budaya secara tersirat dan dalam bab ke-IV bukunya menolak membahas tentang perubahan definisi kebudayaan secara prosesual karena ketakutan akan terjebak dalam sebuah Idealisme “Hegelian”. Pembahasan Kebudayaan secara Diakronik secara gamblang dimunculkan dalam bukunya.
Mulai dari prroses kebudayaan yang bersifat “strukturalisme” erat kaitannya dengan otoritas politik penguasa. Sampai kebudayaan yang bersifat evolusionisme. Pria kelahiran kudus ini juga banyak membahas soal definisi kebudayaan mulai dari Leslie A white, Goerge Luckass, sampai Clifort Geertz. Adapun secara lugas penulis buku ini kemudian mempertegas definisinya mengenai kebudayaan dengan mengulas definisi dari para ahli tersebut. Menurut pendapat kami kebudayaan seperti yang terdefinisi oleh Syaiful ialah awal dari bentuk peradaban yang kian kompleks sampai hari ini. Dan sampai hari ini pula kelompok kami masih beranggapan bahwa kebudayaan ialah persoalan mengenai makna dibalik sebuah perilaku dan tindakan yang saling mempengaruhi baik dalam ranah sosial maupun ide.
Setelah menyelami pemikiran Syaiful Arif, perihal kebudayaan ternyata bukan saja menyangkut persoalan deffinisi secara (ontologis) an sich melainkan secara epistemologis juga tidak bisa dikesampingkan. Idealnya dalam pembelajaran mengenai sejarah kebudayaan kesepakatan soal ontologis dan epistemologis mengenai dua konsep “Sejarah” dan “Kebudayaan” didamaikan dalam satu sudut pandang- sudut pandang Indonesia.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Mardjikers

Memandang Indonesia adalah memandang beragam suku bangsa, yang berdiam dalam banyak pulau

Tidak terasa sudah 65 tahun Indonesia merdeka. Bukanlah waktu yang sebentar, mengingat kala usia manusia sudah sampai pada titik itu manusia tersebut tidak lagi disebut sebagai manusia yang produktif. Beberapa perusahaan besar malah cenderung memberhentikan tenaga kerjanya saat berumur dibawah 55 tahun. Kebutuhan akan produksi yang terus menerus memaksa perusahaan lebih cepat membuang tenaga yang produktif.

Pasalnya memandang Indonesia yang konon berusia 65 tahun laiknya membaca novel tanpa klimaks. Beberapa patahan besar dalam garis sejarah membuktikannya. Semisal pada tahun 1965, saat peralihan kekuasaan − orde lama (Soekarno) menuju orde baru (Soeharto) tidak ada secuilpun perubahan yang signifikan terjadi, khususnya menyangkut kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan legitimasi selembar kertas yang sampai hari ini hanya menjadi mitos belaka, rakyat Indonesia berganti nahkoda.

Bagi Soeharto memulai memerintah sebuah negara adalah menghapus sekian banyak catatan sejarah−yang niscaya akan mengancam kekuasaannya. Sebagai sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam sangatlah wajar bahwa Indonesia menjadi rebutan. Bahkan setelah merdeka dari bangsa asing, berganti bahwasanya Indonesia harus rela menjadi media penjajahan baru yang dipakai oleh penguasa. Jauh panggang dari api. Kemerdekaan yang sudah di raih harus diberikan kepada si empunya kuasa, termasuk Soeharto yang berniat menjadikan Indonesia sebuah kerajaan.

Keberhasilan Arok sang Paria, menggulingkan Tunggul Ametung menjadi Inspirasi utamanya. Usai merevitalisasi beberapa catatan sejarah, dengan dalih pemberontakan, Soeharto membuat kambing hitam yaitu sebuah Ideologi yang jasanya tidak dapat dipungkiri besar untuk mengantarjan Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat. Sejarah baru pun di buat, seperti ungkapan Karl Marx “Kita adalah Sejarah” Soeharto beserta kroninya mentasbihkan dirinya sendiri dan kostrad sebagai penyelamat negara. Bahaya laten, unkapan kuno namun cukup populis, yang kemudian menghantarkan jendral bintang lima ini menjadi penguasa selama 32 tahun.

Kemudian patahan sejarah berikutnya adalah pada tahun 1998 ketika Tirani yang dijalankan sudah mulai rapuh. Perubahan sosial yang harus menumbalkan ribuan toko, serta nyawa kawan – kawan pelajar ini belum lunas terbayar. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan reformasi ini sering di anekdotkan menjadi repot nasi. Bayangkan setelah peristiwa tersebut terjadi bukan kesejahteraan bahkan kebangkrutan yang harus dialami. Beberapa benteng ekonomi Indonesia dipaksa gulung tikar. Namun, peristiwa 1998 adalah pelajaran. Tidak satupun perubahan itu berujung pada kemerdekaan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia untuk mengelola tanah dan airnya sendiri.

Membicarakan kemerdekaan Indonesia kita harus bersiap diri. Tanah yang tandus dan tiada berair, begitu kiranya analogi kemerdekaan Indonesia. Teringat akan pidato kepala sekolah saat masih duduk di bangku kelas 2 SMP, bahwa tugas generasi muda adalah mengisi kemerdekaan RI dengan belajar dan berkegiatan yang positif. Pasalnya kemerdekaan yang sudah dicapai, akhir akhir ini semakin bias adanya. Uforia demonstrasi dan kebebasan berorganisasi yang di dapat masyatakat hanya menjadi titik air hujan yang menghujam batu. Sayang batu yang harus di lubangi bukan sembarang batu melainkan batu koral yang maha cadas. Jerit hati rakyat negeri di depan bari kade panjang Istana negara hanya bergema di hantam kerasnya tameng polisi anti huru hara. Bahkan jeritan dan teriakan tersebut kian ternodai dengan uang yang menyumpal mulut mereka untuk berteriak.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Mendobrak Tabu

Paradigma baru tentang pengetahuan sex menjadi dilema bagi penentu kebijakan dan praktisi (Saurteigh & Davidson – Shaping Sexual Knowledge)
Siapa pernah mengira bahwa di Eropa ternyata pengetahuan sex pernah menjadi sesuatu yang tabu? Benua yang pada hari ini menjadi pusat berkembangnya liberalisme, dan pelopor keterbukaan informasi. Proses. Pengetahuan mengenai sex menjadi perbincangan yang di tabukan pada awal abad ke 20. Sex dianggap sebgai sesuatu yang sakral untuk diperbincangkan. Sex ternyata tidak sekadar urusan kelamin, manusia melainkan urusan seputar kedewasaan dan erat kaitannya dengan psikology. Adalah Michael Focoult seorang Filsuf cum penulis, membuat sebuah penelitian sekitar tahun 1970an yang berhasil menjawab bahwa pengetahuan sex tidak hanya sekedar urusan biologis (jasmani) melainkan sebuah kultur, budaya, yang membentuk pengetahuan.
Sex juga berkaitan erat dengan kelas sosial, gender, ras, juga pengobatan. Karena sex ternyata berkaitan dengan banyak hal maka tidak mustahil, jikalau ada sebuah buku yang membicarakan soal sex sebagai sejarah kebudayaan. Saurteigh dan Roger Davidson, coba mengurai permasalahan tersebut.
Dimulai dengan penjelasana soal masa kanak – kanak. Pengetahuan masyarakat tentang sexualitas dalam masa kanak kanak mengalami peruabahan signifikan, dimualai dari era Philip Ariies tahun 1960. Pada awalnya anak anak dianggap tidak boleh memiliki pemikiran, dan hasrat sexual. Hubungan antara masa kanak – kanak dan orang dewasa amat menjadi menarik untuk dibahas, tidak terlepas dari urusan sensualitas dan pengetahuan sex yang mengalami perdebatan. Sebuah keniscayaan bahwa ada banyak nilai dan norma, yang harus di tembus, untuk dapat meneliti tentang seksualitas. Kendati demikian hal tersebut tidak menjadikan banyak peneliti, di Amerika pada tahun tersebut patah arang.
Sebelum Philip Ariies bukan orang yang pertama, sejak abad ke- 18 Rosseau, sudah melakukan pembelaan terhadapa pembatasan pengetahuan sex kepada anak – anak. Sementara itu gereja, dan para psikiater memiliki konsentrasi perhatian terhadap bahaya mastrubasi yang dilakukan anak. Kemudian pada abad ke 19, ketakutan tersebut menyusut diiringi dengan kepercayaan masyarakat bahwa anak – anak tidak bersalah, dalam hal sexual. Keyakinan akan innocent pada anak – anak ini kemudian diperkuat dengan regulasi dan undang undang yang dibuat oleh beberapa negara, dan negara bagian, misalnya di Inggris, Jerman, dan Austria.
Sigmun Freud kemudian pada tahun 1905 lewat esainya “Three Essays on The Theory of Sexuality” mmemaparkan bahwa pengetahuan sex, dan keinginan akan sensualitas sudah melekat pada anak, ketika ia baru dilahirkan. Dengan detil Freud menguraikan dalam esaynya bahwa hasrat sexual muncul pada anak – anak saat mereka (anak) menghisap air susu, dari ibunya, memunculkan alat kemaluannya kepada orang lain. Perilaku demikian dapat ditemui pada anak anak normal (masih usia bayi). Pemikiran Freud sesungguhnya merupakan bagian dari diskusi kontemporer, pada tahun 1900an, diawali dengan publikasi sebuah buku hasil study magister Havelock Ellis dan Albert Moll, ‘The Sexual Live of The Child’. Buku tersebut menjelaskan bahwa konsep seksualitas anak dipengaruhi oleh ideologi pengajar pengetahuan sex, yang berkembang disekitar eropa. Riset mengenai pengetahuan sex anak kemudian berlanjut di Eropa dengan melibatkan banyak ahli. Sexologi, psikolog, pakar pendidikan, dan banyak peneliti lainnya.
Penelitian tersebut terus dilakukan untuk menjawab pertanyaan seputar pengetahuan sex, dan hasrat sexual pada anak, apakah merupakan semacam penyakit, atau hal yang wajar sesuai fase pertumbuhan. Gereja dan pihak konservatif tetap menggencarkan kampanye mengenai bahaya, dan pembatasan pengetahuan sex pada anak. Setelah penelitian panjang, pada paruh abad ke duapuluh, Alexander Neil berhasil menjawab pergulatan, antara boleh tidaknya anak mendapatkan, memiliki pengetahuan sexual. Neil menjelaskan bahwa anak – anak dapat dengan bebas berjalan telanjang bulat, untuk mengeksplorasi dan mengetahui hasrat dan pengetahuan sex seputar dirinya. Pada penelitian selanjutnya banyak ahli dan gereja sepakat, bahwa hasil penelitian terkait dengan pengetahuan sex, selanjutnya akan digunakan oleh para orang tua, untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat menjelaskan tentang pengetahuan sex yang dibutuhkan anaknya. Seperti pertanyaan yang umumnya muncul pada anak – anak : “bagaimana mereka dapat terlahir di dunia?”.
Konflik atas pendidikan seks bukan pertempuran antara ideologi politik Sebaliknya, itu adalah perjuangan antara dua wacana yang berbeda, dua pandangan yang berbeda terhadap kemanusiaan, masyarakat dan seksualitas: satu sekuler dan satu bersifat realigi.
Tiga aspek perdebatan yang akan disorot
Pertama, mengubah persepsi tentang seksualitas, dan seberapa jauh para aktor terkemuka di perdebatan seksualitas dipandang sebagai sebuah fenomena biologis, sosial atau psikologis dan seberapa jauh ia dianggap sebagai masalah etis,
Kedua, seberapa jauh pengetahuan seksual dianggap sebagai pemenuhan profilaksis atau bahkan membebaskan peran bukan sebagai pengaruh yang mengganggu atau bahkan merusak,
Ketiga, sejauh mana pengetahuan seksual tentang gender dalam penggambaran atas masalah seksual.
Masalah pendidikan seks pertama kali diperkenalkan oleh Karolina Widerström (1856-1949), dokter wanita Swedia pertama dan dokter kandungan, seorang anggota pembebasan gerakan perempuan. Widerström melihat masalah tentang pendidikan seks dalam aspek bilogis. Akan tetapi Pendidikan seks yang ditawarkan di Swedia pada awal abad kedua puluh sangat terbatas. Menurut Widerström dan Komisi Penduduk menyatakan bahwa pendidikan seks harus tercantum dalam kurikulum biologi.
Pengenalan pendidikan seks di semua sekolah Swedia dimulai dengan pelatihan guru di perguruan tinggi dan universitas yang merupakan agenda utama
Asosiasi Pendidikan Seks Swedia (RFSU).
RFSU yang ingin membangun pandangan modern, ilmiah dan sekuler
tentang seksualitas. Ia percaya bahwa pendidikan seks sekolah akan mempersiapkan kaum muda untuk masa depan. RFSU juga menekankan pentingnya pendidikan seks untuk anak muda guna pengembangan pribadi. Tujuan informasi seksual dianggap mendasaruntuk kompetensi individu kesejahteraan dan social. Pandagan RFSU mendapat ancaman dari Gereja di Swedia. Masalah-masalah pendidikan sex dibatasi oleh nilai-nilai agama Katolik.
Aspek sejarah kebudayaan
Sejarah Polandia pada abad XIX di dominasi oleh tiga kekuatan, Prussia, Austria dan Rusia. Sesungguhnya ketika Austria (Galicia) mulai melaksanakan kontrolnya atas Polandia, orang-orang Polandia dapat menikmati otonominya baik dalam bidang budaya maupun ekonomi. Namun perkembangan nasionalisme Rusia mengakibatkan sistem pendidikan menjadi begitu diskriminatif bagi orang Polandia. Hasilnya, perkembangan pemikiran-pemikiran dan perdebatan mengenai pendidikan, termasuk pendidikan seks begitu tersembunyi dan ilegal yang terbatas dalam diskusi dan perdebatan kelompok ilmuan yang disampaikan dalam media cetak.
Banyak perdebatan-perdebatan ini akhirnya tidak hanya menjadi sebuah masalah dalam lingkup masyarakat yang sempit, tetapi juga berkaitan erat dengan kondisi sosial dan politik di Polandia. Yang dibicarakan dalam permasalahan pendidikan seks disini ialah tentang waktu, konten dan cara penyampaian serta tentang pengalaman-pengalaman individu dari orangtua dan anak itu sendiri mengenai pendidikan seks. Sejak meletusnya revolusi 1905 dalam parlemen Polandia, diskusi mengenai masalah pendidikan seks bagi anak-anak dan dewasa menjadi semakin terbuka. Kaum feminis yang dipengaruhi oleh liberalisme Inggris mulai memperjuangkan pendidikan seks masuk ke dalam kurikulum di sekolah. Meski gagasan ini didukung oleh para ilmuwan dan dokter, namun pihak gereja (Katolik Roma) menolak ide ini sebagai suatu pengingkaran atas eksistensi Tuhan.
Selain itu perdebatan juga berlanjut pada waktu, isi dan cara penyampaian mengenai pendidikan seks. Dalam hal ini tiga orang memiliki peranan penting dalam menyampaikan pengetahuan pada anak-anak, yaitu ibu, guru biologi dan dokter dengan waktu dan apa saja pengetahuan yang tepat diberikan. Seorang feminis penting, Iza Moszczenska, menyarankan proses penjelasan mengenai fact of life seharusnya dijelaskan sangat awal dari rumah. Ia berpendapat bahwa dalam suasana yang rileks dan hangat anak-anak terlebih dulu dijelaskan tentang kehidupan tanaman (perkembangbiakan), lalu kemudian pada binatang dan kemudian manusia yang dijelaskan secara natural tetapi tidak vulgar. Iza juga menyarankan pengarahan informasi tentang pubertas wanita (menstruasi) dan anatomi tubuh manusia.
Pendidikan seks ini juga berhubungan dengan moral dan etika, perlakuan terhadap wanita, perilaku seks sebelum dan sesudah nikah serta prostitusi. Dalam perdebatan ini, Pastor berada dalam posisi kontra. Mereka meyakini bahwa tidak diperbolehkan ada informasi dasar mengenai fact of life yang harus diberikan pada anak dibawah usia 7 tahun. Perdebatan antara kelompok pendidik liberal dengan pendeta-pendeta konservatif tak pernah dianggap selesai, satu sisi menganggap bahwa seks edukasi bukanlah hal yang harus dirahasiakan karena berkaitan dengan pendidikan moral, di satu sisi kaum konservatif menolak pembicaraan-pembicaraan yang dapat menimbulkan rangsangan dan keingintahuan mengenai seks bagi anak-anak.
Gelombang kedua perdebatan mengenai pendidikan seks dimuali pada 1920-an dalam iklim perpolitikan yang sangat jauh berbeda. Sejak Polandia memproklamirkan negaranya pada 1918, pemerintah beruapaya mengakomodir hak-hak rakyatnya dalam segala bentuk. Pada masa ini, para intelektual tidak hanya memberikan opini tetapi mulai mempengaruhi kebijakan pendidikan negara dan berkutat pada isu sentral mengenai perlu atau tidaknya memasukan pendidikan seks dalam kurrikulum sekolah serta apa saja yang penting diinformasikan pada anak-anak.
Pengetahuan sex, khususnya yang berkembang di eropa, kemudian mengalami perubahan. Pengetahuan sex, dan aktifitas sexual seperti ciuman, dan berpelukan menjadi semakin diakui di eropa sebagai pengetahuan yang ambivalen. Ambivalensi tersebut berarti baik sekaligus buruk. Menurut sejarah pengetahuan sex yang diperjuangkan para ahli hingga paruh pertama abad ke- 20 bertujuan untuk mengembangkan kesehatan, dan pengetahuan, bukan untuk menjadikan anak tidak bermoral dan melupakan nilai dan norma. Semangat liberalisme, di Eropa kemudian mulai mengakar dan menjadikan hampir sebagian besar anak muda, bebas mengeskplorasi hasrat mereka. Pendulum sejarah pengetahuan sex kemudian mengarah pada perbincangan di kalangan para ahli seputar penyimpangan sexual.
Seiring berkembangnya pembangunan, dan liberalisasi di Inggris sekitar tahun 1980an identitas dan perlindungan terhadap hak sexual anak mulai diterapkan. Anak – anak, yaitu mulai dari usia 1 – 21 tahun harus terbebas dari aktifitas sexual. Sex hanya diperuntukan untuk orang dewasa. Pembentukan pengetahuan sex kemudian diperjuangkan menjadi identitas dan hak sexual bagi anak. Kasus Phedopilia, dan penyimpangan sex lainnya muncul di Eropa untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan di Eropa kemudian menganggap item paling penting dalam mencari makna, berubahnya pengetahuan sex ada pada bentuk penyebarluasan pengetahuan sex tersebut.
Pengetahuan sex, hingga akhir abad ke- 20 mengalami kemajuan yang pesat di Eropa, terlepas dari banyaknya kecaman dari kaum konservatif, yang membatasi pengetahuan sex pada anak. Di Jerman, tapatnya Jerman timur, pendidikan sex mulai diajarkan sejak anak duduk di bangku taman kanak – kanak. Pengetahuan sex tersebut diajarkan lewat Film, dan beberapa buku referensi. Pada tahun 1980an literature tentang pendidikan sex, dan film tentang pendidikan sex tersedia di banyak tempat di Eropa. Kemenangan kaum liberal, menjadikan penddidikan sex, dan pengetahuan seputar sex tidak lagi menjadi tabu. Salah satu film yang terkenal di eropa yang menjadi film pertama tentang pendidikan sex ialah ‘Helga’ film tersebut tidak bisa dikatakan melanggar nilai, karena digunakan sensor pada film tersebut. penggunaan sensor kemudian dilanjutkan untuk gambar – gambar yang berisi keterangan seputar sexual. Hal tersebut menjadikan referensi tentang pendidikan sex tidak lagi tabu, bahkan dapat diakses oleh semua kalangan.
Pengetahuan sex dan komoditas sexual
Berawal dari tujuan pendidikan selanjutnya sex bergerak kearah yang lebih jauh. Tidak dapat dipungkiri, negara di Eropa dan Amerika terutama, saat ini telah menjadi pelopor industri sex. Mulai dari vivid enterprise, Playboy, Penthouse, dan banyak lagi. Kemunculan industri porno, porn industri tidak terlepas dari pasar di Eropa. Bagai dua mata uang yang saling berkait. Kebabesan untuk mengakses informasi, disertai dengan konsekuensinya. Industri Porno lahir dari hasrat seksual. Pasalnya tidak seperti buku yang ditulis Saurteigh, yang berkisah tentang pendidikan sex, soal pengetahuan sexual dan bahaya sex ini, ada sebuah buku yang diterbitkan oleh Jasakom ‘The World of Porn’ mengurai kisah seputar sejarah eksploitasi seksual, dan kenapa industri sex itu terbentuk.
Helga ialah film pertama soal sex di Eropa. Kendati demikian jutaan judul film Porno, yang diproduksi sampai abad ke- 21 ini. Produksi film tersebut, tidak dapat dipungkiri juga merambah ketanah air, dan di konsumsi oleh sebagian besar generasi muda. Pembahasan soal video sex, di Indonesia hari ini agaknya terkesan mundur. Bila di Amerika dan di Eropa seperti yang di ungkapkan Saurteigh, pendidikan sex dapat mengeliminir, penyimpangan dan penyakit yang ditimbulkan akibat sex bebas. Di Indonesia tentang sex masih dianggap tabu, dan ditutup rapat. Tidak tanggung tanggung pelaku adegan mesum akan dikenai hukuman pidana. Kasus Nazriel Ilham (Ariel) menjadi pelajaran penting. Terlepas dari keberpihakan terhadap liberalisasi, dan eksploitasi seksual, ketika ada sebuah permasalahan, kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah malah menambah masalah.
Selayaknya buku yang di tulis oleh Saurteigh ini bisa menjadi referensi bagi banyak pihak mengenai pengetahuan sex. Outputnya tidak sekadar video mesum, dan untuk kesenangan belaka. Melainkan dari buku ini kita dapat mengetahui perubahan kultur, Budaya masyarakat di Eropa, kemudian mengkkaji perubahan budaya di Indonesia. Sex dan pengetahuan seputarnya laiknya tidak di tabukan, melainkan di jadikan sebuah item yang dianggap penting untuk diberikan, karena menyangkut perkkembangan psikologi anak dan peserta didik pada umumnya.
Pengetahuan sex yang ditutup rapat kemudian akan menimbulkan permasalahan berupa berkembangnya pesatnya rumah produksi pornografi, yang nantinya akan menimbulkan dehumanisasi terhadap masyarakat. Sedang pendidikan sex yang baik adalah pendidikan mengenai sex yang sesuai dengan psikologi anak, dan seharusnya diberikan oleh orang tua.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Perang Perdamaian dan Pemberontakan

Pasca Revolusi fisik 1945 Indonesia tak lebih layaknya seorang anak manusia yang baru di “lemparkan” ke bumi, dia menangis sendirian ditengah orang tua dan kerabat yang tersenyum bahagia menyambutnya. Pun Indonesia, pada saat itu menangis keras di tengah rakyat yang bergembira menyambut sebuah bangsa yang baru lahir dengan kemerdekaan yang di bawanya.
Kemerdekaan adalah hak setiap orang sejak lahir, tetapi terkadang kemerdekaan itu harus di rebut untuk mencapainya, begitulah petuah tua memberikan pandangannya tentang kemerdekaan. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia harus bergelut dengan sekian masalah baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri sendiri, sekian urusan administratif pemerintahan harus secepatnya diselesaikan, perangkat-perangkat negara seperti militer bahkan pendidikan sekalipun harus di rasionalisasi ulang dari militer (PETA, Shodanco dll) sebagi perangkat pemerintahan fasis Jepang menjadi perangkat-perangkat kekuatan pertahanan Indonesia.
Gagasan untuk mewarnai kehidupan politik pasca kemerdekaan dengan sudut pandang partai politik perlu di renungi kembali. Penulis coba menyelami masa lalu dalam perspektif masa lalu, dalam arti apa yang di gagas pada masa lalu tidak bisa di justifikasi oleh hari ini. Walaupun ide partai politik pada saat itu di dorong oleh semangat demokratisasi.
Oleh karena itu penulis melihat akar masalah dari hitam-putih sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dengan berdirinya banyak partai seperti “jamur di musim hujan” di tengah-tengah situasi yang tidak stabil memungkinkan terpecahnya kekuatan Nasional. Bermacam-macam partai dari berbagai golongan, berbagai ideologi/pandangan, berbagai cita-cita dan berbagai kepentingan akan sangat sulit di kendalikan untuk menghadapi musuh bersama-sama.
Terbukti ketika puluhan kapal perang asing yang berjangkar di perairan laut Jawa di awal November 1945 di sikapi berbeda-beda oleh tiap-tiap golongan dan para pemimpin perjuangan. Kemenangan di hari pertama yang diraih para pemuda Surabaya dalam pertempuran melawan tentara Inggris tidak dapat dipertahankan sampai hari kedua karena Presiden Soekarno menginstruksikan kepada Rakyat dan Pemuda Surabaya untuk menghentikan pertempuran. Akhirnya ribuan warga Surabaya terbunuh sia-sia di ujung senapan tentara Inggris. Contoh lainnya adalah ketika Presiden menginstruksikan tidak melakukan perlawanan, daerah-daerah menyikapinya berbeda-beda, beberapa daerah mematuhi instruksi tersebut tetapi banyak daerah juga yang tidak mengindahkan instruksi tersebut dengan tetap melakukan perlawanan mempertahankan kemerdekaan seperti yang terjadi di Magelang.1
Semua ini adalah ujian untuk “si anak jabang” yang baru lahir. Kemenangan sekutu dalam Perang Dunia II mendorong Negara-Negara anggotanya membuat peta kekuatan Dunia baru, baik secara politik, ekonomi maupun militer. Sekian agresi yang dilakukan oleh para “penjual roti” yang negerinya setiap tahun selalu terendam oleh air laut yang pasang baik dengan usaha sendiri ataupun memboceng tetangga sebelahnya adalah bukti bahwa Belanda masih sangat berhasrat untuk menyalurkan “Hobinya” bermain sepak-tindas.
Pasalnya, semangat revolusioner para Pemuda tidak hanya muncul di Magelang. Tepatnya pada bulan Oktober sampai Desember 1945, banyak daerah daerah yang juga memberontak. Bukan pada kekuasaan pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah. Di Pemalang, Tegal, dan Berebes para pemuda mengkooptasi wakil dari pemerintah Jepang –pejabat di karesidenan setempat dengan mengambil alih kekuasaan dengan paksa.2
Sekeluarnya Proklamasi 1945 memang banyak rakyat dan Organisasi di luar pulau jawa pada khususnya yang tidak mengetahui perihal peristiwa tersebut. “Hal – hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain, diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang se-singkat singkatnya. Kurang lebih seperti itulah bunyi teks proklamasi. Untuk itulah sepatutnya hal yang harus dilakukan ialah memberitakan tentang persoalan kemerdekaan. Pasalnya pekerjaan yang dahulu dilakukan ialah merasionalisasikan pembentukan angkatan bersenjata yang terpecah – pecah, beserta partai politik. Hal ini tentu saja membuat kebingungan tersendiri bagi sekian banyak organisasi organisasi “bawah tanah” yang berada di daerah.
Pun demikian berita proklamasi yang baru sampai di Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus di sambut gembira oleh Hamengkubuwono, lewat pidatonya.3 Pada awalnya pemuda dan organisasi yang kebingungan sontak menjadi riang gembira, persoalan selanjutnya ialah soal tentara keamanan.
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai payung dari perbagai satuan keamanan pasca perang melawan Jepang menjadi alternatif. Anggota BKR ialah bekas tentara PETA dan HEIHO, BKR kemudian berkembang, seiring masuknya pelbagai laskar rakyat kedalamnya. Pada akhirnya BKR terbagi kedalam wilayah teritorial, BKR laut, udara, dan darat. Untuk itulah BKR menjadi sebuah alat pertahanan penting prasyarat berdirinya sebuah negara –menunjukan kedaulatan negara terhadap teritorialnya.
Pada awal tahun 1946 tentara sekutu kembali mendaratkan serdadunya kewilayah Indonesia. Dengan alasan ingin melucuti tentara Jepang. Serikat mendaratkan serdadunya, dan Belanda datang lagi yang mengaku dirinya sebagai wakil dari pemerintahan Hindia Belanda. Belanda (NICA) telah dapat menguasai di beberapa tempat, dan menguasai lautan dengan mendatangkan serdadu dan kapal – kapalnya dan mengasingkan saudara – saudara kita, kita diserang.4 Laiknya bayi yang baru berjalan, Indonesia berjalan dengan tertatih, dengan rintangan yang tidak tanggung tanggung berupa datangnya kembali sekutu seusai perang pasifik. Perang pasifik berakhir usai menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada sekutu.
Walau dengan angkatan bersenjata yang baru berdiri, Indonesia tetap berdiri tegak. Dibawah dentuman meriam Belanda dan sekutu yang kian hebat, sampai sampai Jakarta harus tunduk padanya. Praktis Ibu kota di pindahkan ke Yogyakarta. Keadaan politik di pemerintahan semakin terpuruk, pasalnya dukungan baik berupa pasukan dan dana dari sekutu mengalir untuk kemudian berpihak pada Belanda. Belanda tidak datang dengan gagah perkasa, sebagai belanda. Melainkan datang sebagai tentara sekutu dibelakang Inggris.
Perang melawan sekutu
Ketika Perang pasifik masih berlangsung, sekutu membagi Indonesia menjadi dua daerah operasi. Sumatera dimasukan ke dalam daerah operasi South East Asia Command ( SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Moubattan, sedangkan Jawa dan Indonesia bagian timur ke dalam daerah operasi South West Pacific Command ( SWPC) di bawah komando Jenderal Mac-Arthur. Daerah operasi ini berubah setelah perang dunia II di Eropa berakhir dengan menyerahnya Jerman bulan mei 1945. Dalam konferensi sekutu di Potsdam bulan juli, seluruh wilayah Indonesia dijadikan daerah operasi SEAC, sebab MacArthur ingin mengerahkan seluruh kekuatan pasukannya untuk langsung menyerbu kepulauan Jepang.
Daerah yang menjadi tanggung jawab SEAC meliputi pula Burma ( Myanmar), Thailand, Indo-Cina, dan semenanjung tanah melayu. Untuk Indonesia dibentuk komando khusus, yakni Allied Forces Netherlands East Indies ( AFNEI) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philips Christison. Pada tanggal 29 September 1945 pasukan sekutu pertama mendarat d Jakarta. Pasukan sekutu yang tergabung dalam AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan pendudukan daerah Indonesia lainnya diserahkan kepada pasukan Australia. Adapun tugas AFNEI adalah :
Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran sekutu.
Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.
Menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang.
Awalnya kedatangan sekutu disambut dengan sikap terbuka dan netral oleh pihak Indonesian. Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan sekutu datang membawa orang – orang NICA yang hendak menegakan kembali kekuasaan kolonial hindia Belanda, sikap pihak Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi bertambah parah setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru di bebaskan dari tahanan Jepang. Kekesalan Indonesia tidak hanya karena faktor adanya pasukan NICA tetapi karena pasukan sekutu mengingkari janjinya yang hanya akan mengurusi para tawanan Jepang, dan tidak akan mengurusi pemerintahan Indonesia, tetapi pada kenyataannya sekutu berusaha ikut campur dalam negara Indonesia, yang pada selanjutnya akan sering terjadi pertempuran antara pasukan Republik dengan pasukan sekutu. Kejadian – kejadian ini didasari oleh sikap pasukan – pasukan sekutu yang di daerah tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.
Pihak Indonesia menilai bahwa sekutu melindungi kepentingan Belanda. Oleh karena itu kehadiran mereka banyak ditentang di daerah – daerah. Dibawah ini akan diceritakan sedikit gambaran tentang pertempuran yang melibatkan pasukan sekutu dengan pasukan Republik di daerah.
Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan sehingga berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif.
Pada tanggal 25 oktober 1945, brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Kedatangan mereka diterima secara enggan oleh pemerintah Jawa Timur yang dimpin oleh Gubernur R.M.T.A.Surjo. sikap ini di dasari oleh perbuatan sekutu yang menyerbu penjara Republik untuk membebaskan perwira – perwira sekutu dan pegawai RAPWI ( Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang ditawan Republik.
Pada tanggal 28 Oktober, pos – pos sekutu di seluruh kota Surabaya diserang oleh rakyat Indonesia. Dalam peristiwa ini Brigadir Mallaby tewas tertembak. Hanya dalam waktu sehari Brigade Mallaby nyaris binasa, seandainya pemimpin – pemimpin Indonesia tidak segera memerintahkan penghentian tembak – menembak.
Dengan terbunuhnya Brigadir Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban. Pada tanggal 31 Oktober 1945 Jenderal Christison, Panglima AFNEI memperingatkan kepada rakyat Surabaya agar mereka menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurleburkan. Sesudah kematian Mallaby pihak Inggris mendatangkan pasukan baru dibawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Manseregh. Kemudian pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal Manseregh memberikan Ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isi dari ultimatum ini adalah tuntutan agar semua pimpinan dan orang – orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakan tangan diatas kepala, dan kemudian menandatangani dokumen yang disediakan sebagai tanda menyerah tanpa syarat. Batas waktu ultimatum ini adalah jam 06.00 tanggal 10 november 1945. Ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Surabaya,hal ini didasari oleh karena isi ultimatum itu merendahkan martabat dan harga diri bangsa Indonesia.
Pada saat batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin eksplosif.salah satu pejuang Surabaya yaitu Soetomo ( bung Tomo) menggelorakan semangat para masyarakat Surabaya untuk tetap berjuang dan tidak takut dengan sekutu. Kontak senjata pertama terjadi di perak, yang berlangsung sampai pukul 18.00. gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman ke basis pertahanan masyarakat Surabaya. Dalam pertempuran yang tidak seimbang yang berjalan selama samapai awal bulan Desembar itu telah gugur banyak pejuang. Untuk memperingati kepahlawanan serta kegigihan masyarakat Surabaya yang mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai hari pahlawan.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran di Ambarawa ini terjadi pada tanggal 20 November dan berakhir pada 15 Desember 1945. Ambarawa adalah kota yang terletak antara Semarang – Magelang dan Semarang – Solo. Latar belakang perisriwa ini diawali mendaratnya Brigade artileri dari divisi India ke-23 yang mendarat d Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Brigadir Bethell, yang oleh pihak RI diperkenankan untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang dan evakuasi 19.000 interniran sekutu yang berada di kamp banyu biru Ambarawa dan Magelang. Akan tetapi ternyata pasukan sekutu ini telah diboncengi oleh tentara NICA, yang kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang, yang berlanjut menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Inggris. Insiden ini berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Bethell melakukan perundingan gencatan senjata pada tanggal 2 November 1945, yang sebagian isinya:
Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di magelang, untuk me. lakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlahnya dibatasi hanya untuk keperluan melaksanakan tugasnya.
Inggris tidak akan mengakui aktifitas NICA dalam badan – badan yang berada di bawah kekuasaanya.
Tapi ternyata pihak Inggris ingkar janji. Kesempatan dan kelemahan dari pasal – pasal persetujuan itu dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah serdadunya yang berada di Magelang.
Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Inggris. Karena kekurangan armada, pada tanggal 21 November 1945, pasukan Inggris yang berada d Magelang dikirim ke Ambarawa. Pada tanggal 22 November 1945,pasukan Inggris membombardir kampung – kampung di sekitar Ambarawa, sehingga pasukan TKR hanya bisa bertahan d sebuah lahan perkuburan Belanda untuk menahan serangan pasukan sekutu. Akan tetapi kekuatan tentara TKR bertambah dengan datangnya bala bantuan tiga batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 divisi X dibawah pimpinan Mayor Soeharto, baralion 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono dan batalion Sugeng sehingga kedudukan musuh menjadi terkepung.
Sekalipun telah dikepung, pasukan sekutu masih mencoba mematahkan kepungan itu. Mereka menggunakan tank – tanknya untuk menyerang kedudukan TKR dari belakang pertahanan, sehingga kedudukan TKR menjadi terancam.
Adapun kekuatan pasukan yang ikut bertempur di Ambarawa ini berjumlah 19 batalion TKR dan beberapa batalion badan – badan perjuangan yang bertempur secara berganti – ganti. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan yang berasal dari purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur. Setelah Isdiman gugur, Kolonel Soedirman, pangliman divisi di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran berubah menjadi semakin menguntungkan pasukan TKR. Musuh terusir dari desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan pada tanggal 5 Desember 1945.
Kolonel Soedirman mengumpulkan para komandan sektor untuk melaporkan situasi disetiap sektor. Kemudian Kolonel Soedirman membuat rencana untuk melakukan pukulan terakhir. Rencana tersebut adalah :
Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua sektor.
Tiap – tiap komandan sektor memimpin serangan.
Pasukan – pasukan badan – badan perjuangan ( laskar) disiapkan sebagai tenaga cadangan.
Serangan akan dilakukan pada tanggal 12 Desember pada pukul 04.30 pagi.
Pada serangan tersebut kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pasukan Inggris yang merasa kedudukannya terjepit, berusaha keras untuk melakukan pemutusan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting , dan diakui oleh pihak Inggris, bahwa pasukan Indonesia sulit di takhlukan sekalipun dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Kemenangan pasukan republik ini memberi dampak yang sangat besar,karena kota Ambrawa terletak di daerah strategis, karena apabila kota Ambarawa berhasil direbut musuh,maka akan mampu menguasai tiga kota utama jawa tengah, yaitu Surakarta, Magelang, dan terutama Semarang.
Pertempuran Medan Area
Pasukan sekutu dibawah pimpinan Brigadir T.E.D. Kelly mulai mendarat di Sumatera Utara pada tanggal 9 Oktober 1945. Kekuatan mereka adalah satu brigade yaitu brigade – 4 dari Divisi India ke – 26. Ikut serta membonceng mereka adalah orang – orang NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Pemerintah RI Simatera Utara sangat menerima kedatangan pasukan sekutu ke daerah mereka,karena mereka sangat menghormati tugas pasukan sekutu. Akan tetapi pasukan KNIL kembali berulah dengan mempersenjatai para tawanan, yang kemudian dijadikan pasukan KNIL yang dinamakan “Medan Batalion KNIL” .
Setelah itu banyak terjadi insiden yang diakibatkan oleh perilaku tentara NICA, seperti insiden di hotel jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Awal insiden ini diakibatkan oleh kejadian perampasan dan menginjak – injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang tentara, akibatnya hotel tersebut diserang oleh para pemuda, yang mengakibatkan jatuhnya korban 96 orang luka – luka, yang sebagian besar adalah korban dari pihak NICA.
Insiden ini menjalar di beberapa tempat seperti di Pematang Siantar dan Brastagi. Pada saat itu kekuatan pasukan republik belum besar, ini didasari oleh belum terbentuknya satu komando. Oleh karena itu pada tanggal 10 Oktober 1945 terbentuklah TKR Sumatera Timur yang dipimpin oleh Achmad Tahir. Yang kemudian diadakan pemanggilan tentara bekas giyugun dan heiho ke seluruh Sumatera Timur. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk pula badan – badan perjuangan.
Sebagaimana di kota – kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memberikan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada sekutu. Hal ini juga dilakukan oleh Brigadir T.E.D. Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober 1945. Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi diadakan suatu penyerangan terhadap sekutu. Para pemuda akhirnya membentuk pola serangan dengan sektor, sektor ini dibagi atas 4 sektor. Setiap sektor berkekuatan 1 batalion. Dibawah komando inilah kemudian melakukan serangan besar.
Pertempuran Bandung( Bandung lautan api)
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintahan Republik setempat dudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan pendudukan, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada sekutu. Seperti sikap para tawanan Belanda di kota – kota besar lainnya, para tawanan tersebut juga berbuat ulah, yang mengakibatkan bentrokan – bentrokan yang melibatkan TKR dengan Inggris. Malam tanggal 24 November 1945 TKR dan badan – badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. Ultimatum itu harus dilaksanakan paling lambat pukul 12.00 tanggal 29 November 1945. Dengan ultimatum itu, Inggris membagi kota Bandung menjadi bagian utara berada dibawah kekuasaan mereka, dan bagian selatan di bawah kekuasaan RI. Batas kota bagian utara dan selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.
Ultimatum itu di jawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos – pos gerilya di berbagai tempat. Selama bulan Desember terjadi beberapa kali pertempuran, antara lain di Cihargeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki, dan Viaduct. Sebenarnya Inggris berusaha merebut balai besar kereta api, tetapi gagal. Ketika berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater, mereka terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di Lengkong Besar.
Selama berlangsung pertempuran, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Inggris, melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Inggris meminta agar menyerahkan pasukan India kepada mereka, akan tetapi pasukan Indonesia yang diwakili oleh Panglima divisi III Jenderal A.H. Nasution, menolak menyerahkan kepada sekutu,
Serangan – serangan sporadis yang dilancarkan pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah menyebabkan Inggris “ bermain” di tingkat atas. Pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada perdana menteri Sjahrir agar selambat – lambatnya pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung selatan sejauh 10 sampai 11 Km dari pusat kota. Sjahrir memerintahkan Sjafrudin prawinegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita ke Bandung untuk menyampaikan ultimatum tersebut. Akantetapi perintah ini ditolak oleh Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintahan d Bandung,karena menurut mereka tidak mungkin memindahkan ribuan pasukan hanya dalam waktu sesingkat itu, sampai akhirnya mereka menemui Inggris untuk meminta agar batas waktu ditunda.
Pada sore tanggal 23 Maret Nasution bersama Sjafrudin dan Didi Kartasasmita ke jakarta untuk menemui Perdana Menteri Sjahrir. Demi alasan agar menyelamatkan TRI dari kehancuran, Sjahrir mendesak Nasution agar menuruti ultimatum Inggris. Sjahrir berpendapat bahwa TRI belum cukup kuat menghadapi pasukan Inggris. Kemudian Nasution meminta kepada pihak Inggris agar batas waktu ultimatum ditunda, tetapi keinginan ini ditolak oleh Inggris.
Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para komandan TRI, maupun laskar – laskar perjuangan dicapai kesepakatan untuk membumi hanguskan kota Bandung sebelum ditinggalkan. Akhirnya pada tanggal 24 Maret malam hari pada pukul 21.00, para pejuang Bandung membakar seluruh isi kota. Peristiwa inilah yang akhirnya dikenal dengan “ Bandung Lautan Api” .
Konsolidasi PKI
Kegiatan PKI sendiri mulai ofensif. Pada akhir tahun 1945 kontak-kontak ilegal dengan Front Rakyat-nya, membuat PKI terlibat dalam Peristiwa Tiga Daerah. Banyak orang komunis mulai bergerak secara legal, tetapi tidak sedikit yang menolak sehingga mereka melakukan aksi berontak di Cirebon di bawah pimpinan Mohammad Yusuf, Januari 1946. Pada tahun itu pula pihak Belanda memindahkan tokoh-tokoh komunis Indonesia dari negeri Belanda, serta mengembalikan tokoh-tokoh yang sudah lama dibuang ke Digul ke Pulau Jawa. Salah satu tokohnya adalah Sardjono, yang pada bulan April 1946 menjadi ketua partai. Tetapi tugas itu lebih banyak dipegang oleh Alimin yang baru pulang dari Rusia.
Secara nasional PKI melakukan konsolidasi partai pertama dalam atmosfer politik republik, yaitu Kongres Nasional IV di Surakarta pada bulan Januari 1947. PKI seolah-olah mendapat “suntikan baru” sejak kembalinya tokoh lama Muso. Karena meletus pemberontakan 1926, ia tertahan dan terus menetap di Rusia dan baru kembali pada tanggal 11 Agustus 1948. Ia menyamar bernama Soeparto, sekretaris Suripno. Dengan kembalinya Muso babak baru telah dimulai. Pada tanggal 25 Agustus 1948 diadakan sidang partai dengan agenda antara lain pembentukan front nasional. Konsep ini disetujui oleh Partai Buruh yang dipimpin Setiadjit pada tanggal 27 Agustus 1948, dan hal yang sama dilakukan Amir Syarifudin dari Partai Sosialis. Konsep ini oleh Muso dinamakan konsepsi Jalan Baru, dengan pokok-pokok sebagai berikut5:
Di bidang organisai, orang kiri seperti Partai Buruh (PNI dan KNI), harus melebur dan hanya membuat partai bernamakan partai PKI.
Dibidang politik, menentang politik luar negeri RI yang kompromistis, sedangkan untuk politik dalam negeri agar diadakan pembenahan struktur dan aparatur pemerintahan.
Sangat penting membentuk front nasional seebagai prasyarat tercapainya revolusi demokrasi, serta mengerahkan kekuatan massa untuk menghadapi Belanda.
Jalan Baru dimaksudkan sebagai koreksi, yang tidak hanya ditujukan kepada gerakan-gerakan komunis itu sendiri, tetapi sekaligus melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan atau keputusan pemerintah RI, terutama yang menyangkut politik luar negeri. Dalam hal ini RI banyak dirugikan, misalnya dalam perjanjian Renville, dimana RI menerima ketika kekuasaan teritorialnya semakin dipersempit sehingga puluhan ribu gerilyawan RI ditarik dari kantung-kantung ke dalam wilayah RI. Padahal perjanjian itu ditandatangani oleh tokoh kiri (FDR/PKI Amir Syarifuddin ketika memimpin kabinet tepatnya 3 Juli 1947-23 Januari 1948).
Dengan segera Muso mengaktifkan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ia dengan cepat menggeser pimpinan politbiro PKI yang dipegang oleh Sardjono dan Alimin. Kedua orang ini diserahi bidang propaganda yang ketuanya MH Lukman, seorang tokoh muda (berusia 28 tahun) PKI. Tokoh-tokoh lainnya seperti Suripno pengurus masalah luar negeri, Amir Syarifuddin memegang bidang pertanahan, Wikana (Pesindo) memegang bidang kepemudaan, Njoto di bidang perwakilan, dan DN Aidit (berusia 25 tahun) membidangi masalah buruh.
Babak baru perjuangan PKI ini ialah babak baru pelepasan. Sekembalinya Muso dari Rusia dia ingin sekali merealisasikan garis non-kooperasi yang dikenal di Soviet sebagai garis Dimitrov. Misi Stalin untuk menciptakan Internasionale dengan musuh Amerika dengan Eropa in jelas bertentangan dengan jalan perjuangan Nasionalis Indonesia yang lebih ingin memeakai cara kooperasi dan perundingan.
Pasalnya PKI baru dibawah kepemimpinan Muso, berbeda sekali dengan PKI saat masih diwakili oleh Tan Malaka. Perbedaan itu terlihat dari geliat agitasi dan propaganda. Persoalan kesejahteraan masyarakat kelas buruh yang menjadi tonggak utama perjuangan PKI pada masa Muso, jelas menjadi manifestasinya. Sedang pada masa Tan, Warna PKI lebih kepada Petani. Perbedaan ini kemudian dijadikan alat pula oleh pemerintahan Hatta. Pembebasan Tan Malaka dari penjara sebagai buktinya. Kendati demikian Tan Malaka sudah mulai kehilangan pengikut, karena memiliki perbedaan gagasan dengan Muso. Tan Malaka dianggap musuh oleh Muso, karena propagandha di Soviet bahwa Tan ialah penganut Trotskysme.6
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Tidak Sekadar Didiskusikan

“Kalau menilai kontribusi, yang jelas kontribusi gerakan 1998 tidak sekadar menurunkan rezim. Melainkan berbagi amandemen terhadap UUD’45.” (Ubeidillah Badrun- Aktivis FKSMJ 1998)
Membicarakan reformasi 98, tidak sekadar menjadi romantisme para pelakunya melainkan juga menjadi sebuah bukti nyata, pengakuan terhadap perubahan yang dilakukannya. Tidak dapat dipungkiri peristiwa 98 merupakan sejarah. Untuk dipelajarai, menjadi contoh, sekaligus eevaluasi terhadap gerakan mahasiswa. Sudah lebih dari satu dekade peristiwa 1998 terjadi. Peristiwa tersebut pada hari Jum’at 10 Juni 2011 kembali diurai oleh sekelompok mahasiswa jurusan Sejarah.
Kendati telah lebih dari satu dekade, sediktinya literatur tentang peristiwa tersebut, juga kesadaran mahasiswa yang seakan acuh, dan hanya tahu mengkritik menjadi latarbelakang terselenggaranya acara tersebut. Mei 1998 hanya menjadi kulminasi. Kampus IKIP Jakarta (baca : UNJ) ternyata memiliki kontribusi yang tidak sedikit. Hadir dalam diskusi tersebut para pelaku Sejarah. Ubeidilah Badrun, aktivis FKSMJ mengaskan, pada waktu itu represif dari pemerintahan yang dipimpin Soeharto kian parah. Iklim akademik dikampus pun semakin dibatasi. “Beberapa orang berkumpul, pun sudah dicurigai, dan diikuti oleh intelejen,” pungkas Ubeid. Reprisifitas tersebut menyebabkan mahasiswa merasa tidak bisa lagi untuk belajar, mengeksplolrasi pengetahuan meski didalam kampus.
Untuk mensiasati hal tersebut, pun pembentukan forum – forum diskusi, baik yang di inisiasi oleh organisasi intra dan ekstra kampus berlangsung. Salah satu forum yang di inisisasi oleh organisasi kampus ialah Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Forum tersebut berisi berbagai senat mahasiswa dari kampus – kampus se – Jakarta.
Sejarah tidak sekadar kronologis. Seperti yang telah diungkapkan di awal perial latarbelakang gelaran yang diberi title “Diskusi Publik, Gerakan Mahasiswa ‘98” ini mendorong kesadaran mahasiswa soal identitasnya. Indra, Ketua Pelaksana Diskusi tersebut menegaskan bahwa, mahasiswa sudah sepatutnya tidak menjadi akademisi saja, melainkan menjadi abdi terhadap masyarakat dengan memilih jalan pergerakan.
Lembar sejarah telah mencatat, bahwa awal mula radikalisasi mahasiswa adalah lewat diskusi – diskusi, yang tidak hanya membahas persoalan pelajaran di kelas melainkan persoalan dan situasi masyarakat secara nasional, global, dan lokalitasnya. “Mahasiswa sudah sepatutnya melakukan diskusi – diskusi berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, dan isu nasional hari ini ketimbang, ngomong yang tiak jelas,” kata Agus Subhan Malma.
Kurang waktu
Karena diadakan hari Jum’at diskusi terasa sangat sebentar. Imam, mahasiswa Bahasa Indonesia UNJ mengungkapkan, bahwa isi seminar menarik, dan ketiga narasumbernya kompeten, namun waktu pembahasan sangat terbatas. Membicarakan soal gerakan ’98 tidak cukup hanya satu atau dua jam, kendati demikian pelajaran paling berharga dari diskusi tersebut ialah persoalan kesadaran, komitmen, dan pelaksanaan setiap kata yang terlontar. Hijrahnya mahasiswa dari kampus, ruang kuliah, perpustakaan ke setiap sudut ruas jalan raya tidak terjadi selayaknya pertunjukan sulap dalam sirkus, dimana sipesulap tinggal berucap “Abrakadabra” maka keluarlah kelinci dari topi sang pesulap secara tiba tiba, melainkan dengan proses panjang.
Dialektika lewat diskusi yang dilakukan oleh kawan – kawan aktivis mahasiswa diluar ruang kelas serta sentralisme kekuasaan orde baru yang semakin artikulatif, menjadi pemicu utama mahasiswa turun kejalan. Komitmen yang kuat untuk berjuang lewat jalur aksi massa termanifestasi dalam setiap insan pergerakan era 1990’an. Malma kemudian menambahkan, bahwa pada waktu itu (1998-an) kesadaran mahasiswa tentang terminologi gerakan, entah itu gerakan sosial atau gerakan moral sudah tidak lagi menjadi perdebatan.
Selain kurangnya waktu, tipikal Narasumber yang seragam membuat diskusi tidak kontroversial. Indra menguraikan, bahwa yang menjadi fokus teknis pelaksanaan diskusi ialah menjawab pertanyaan bagaimana aktivis yang ada di luar parlemen dan di dalam parlemen. Sayangnya ketiga pembicara yang diundang, sama – sama tidak ada yang masuk kedalam parlemen. Henry Bassel, salah satu pembicara dalam diskusi menceritakan bahwa selepas Pemilu 1999, ia pernah mendapat tawaran masuk ke parlemen (DPR) dari fraksi PPP, akan tetapi ia menolaknya.
Komitmen yang kuat dari gerakan ’98 di manifestasikan dalam jargon klasik “tinggalkan buku, tinggalkan kela.” Adapun idiom tersebut hari ini tinggal sekedar kata mutiara, karena angkatan 2000-an belum selesai mengukir sejarah, tentang pergerakan, dan hari depan bangsa menuju perubahan yang lebih baik. Gerakan tidak terbendung kepada episodik, kurun waktu, melainkan sebuah proses yang tidak akan selesai. Seperti sejarah, sebagaimana diungkapkan Arnold Toynbe, sejarah tidak mungkin selesai, dan akan menjadi siklus yang terus berlangsung
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »