Surat dari Tegalan (Rawamangun)

Bukan hanya asap, tapi juga sedikit air. Ditemani alunan musik dari grup Band Boomerang, saya beranikan diri menulis surat ini. kelima jari ini sudah siap untuk menyusun huruf – huruf yang ada di keyboard.

Entah sebatas keresahan atau memang membutuhkan teman untuk berbagi. Kurang lebih dua minggu yang lalu saya baru saja berdialog dengan almarhum Pramudya Ananta Toer. Siapa tidak kenal Pram? Dengan karyanya yang begitu hidup, dia seakan membawa setiap pasang mata yang membaca karyanya hijrah ke seting tepat seperti deskripsi dalam karya tersebut. Meski hanya berbentuk novel, saya rasa buku tersebut layak untuk dijadikan referensi. Tidak tebal. Hanya 753 halaman.

Dialog saya dengan Pram berawal dari pertanyaan, bagaimana bisa terjadi konflik horisontal di Indonesia? Arus balik, pungkas Pram. Yah karya fenomenal tentang epos kedatangan bangsa asing beserta ajaran, dan nilai – nilainya yang baru. Sekitar tahun 1500an. Tepat setelah Majapahit runtuh. Kerajaan yang sempat menyatukan Nusantara. Pun demikian Majapahit tidak sepenuhnya hilang. Ajaran Hindu, Budha: Mahayana, Hinayana masih terus hidup.

Tuban menjadi contoh kerajaan yang diambil. Tuban, kerajaan yang letaknya dipinggir pantai. Meski kerajaan hindu Budha merupakan kerajaan yang terpusat di pedalaman pulau. Pusat dari tiap kerajaan ialah gunung. Kaki gunung, adalah kota tempat roda perekonomian kerajaan berlangsung. Ada petani, pedagang, dan peternak. Banyak pasar terdapat di kaki gunung, meski tidak seramai bandar – bandar di pesisir.

Tanah Tuban yang tandus, mengharuskan Adi Patinya untuk selelu mengharapkan pemasukan dari pesisir. Yah, cerita tentang riwayat pesisir di Nusantara. Epos bagaimana bangsa asing datang untuk memberi penghidupan pada banyak kerajaan pesisir. Dan Epos juga mengenai riwayat bagaimana agama dijadikan simbol untuk saling berperang, dan menaklukan.

Lembar – demi lembar menceritakan dengan detil maysarakat yang hidup pada masa kerajaan tersebut. mulai dari alat yang digunakan petani. Bagaimana masyarakt hidup dan berpengharapan dari membuat patung – patung dewa, dan bagaimana aturan di dalam kerajaan tuban berganti, seiring berubahnya kepercayaan masyarakat, tergantung dari pedagang mana yang masuk dan berdagang di Bandar Tuban.

Sejarah menjadi Rekonstruksi. Keterbatasan sumber, membuat penulisnya kemudian menginterpretasi cerita berdasarkan sumber yang ada dan beberapa sumber lain yang pernah di baca. Demikian juga Pram. Dengan Imajinasi, dan riset yang mendalam meski hanya berbekal satu buah catatan dari seorang pastur Portugis bernama, Silvestre Da Costa. Catatan kecil tersebut akhirnya dirasa tidak cukup meski telah diinterpretasikan dan di analisis berulang kali. Manifestasi akhirnya sebuah Novel.

Kemampuan seorang sejarahwan merekonstruksi masa lalu terbatas pada sumber. Ada banyak sumber tentang kehidupan masa lalu bangasa Indonesia, saat masih dalam bentuk Kerajaan – kerajaan kecil. Bahkan tidak sedikit sumber dari kerajaan besar yang dapat merekonstruksi kehidupan sehari hari. Pasalnya sangat sedikit Sejarawan mau andil kembali dalam menuliskan Rekonstruksi yang demikian. Pun demikian, kita mengenal nama nama seperti Slamet Mulyana, Kuntowijoyo, Moh Ali, Alwi Sahab yang memiliki integritas terhadap sejarah nasional. Akan tetapi dari nama tersebut sangat sedikit yang perduli dengan tema Indonesia masa Klasik. Dari buku SNI sekalipun, tidak banyak yang dapat direkonstruksi, selain urutan nama para raja yang berkuasa beserta kerajaannya. Persoalannya selama lima hari ke depan mungkin akan ada banyak sejarawan muda yang mencoba meniliti artefak. Menelususri jejak – jejak, siswa kerajaan majapahit di Trowulan.

Mudah – mudahan semangat dan interest tidak hanya sekadar jalan – jalan. Mencari dengan sungguh tidak peduli jika pada akhirnya tidak diketemukan. Persoalan sejarah seringkali berujung pada identitas. Apa dan siapa sesunggungnya Jawa kemudian Indonesia. Berharap keresahan ini tersampaikan, karena dalam uraian di lembar – lembar akhir Novel Arus Balik. Pram menyebut bahwa dahulu Nusantara pernah berjaya. Seluruh Dunia mengunjunginya. Tidak pernah sepi, dan hampir seluruh komoditas menyebar ke seluruh Jagad bumi Manusia, akan tetapi masa itu hari ini telah sirna.
Arus yang dahulu mengalir dari selatan ke- Utara kemudian berbalik. Lebih deras.

Menenggelamkan semua yang ada di selatan. Lewat arus deras dari Utara, manusia di Selatan menjadi berubah. Jika dahulu hidup rukun dan damai dengan berbagai simbol kepercayaan. Toh hari ini kepercayaan dijadikan alat pula untuk memecah belah. Arus dari Utara, terkait isu Terorisme, dan mahalnya harga minyak dunia, kemudian kebijakan pasar bebas yang tidak dapat dihindari. Pemegang peraturan dunia kini ialah negara negara di belahan dunia bagian utara. Tidak lagi di selatan.

Saya hanya mampu menulis surat ini. Membagi keresahan untuk semua orang yang saya kenal. Syukur bila anda ikut merasakan. Andai ada yang tidak, suatu hari kita akan mengalami kehilangan sebuah kekayaan yang teramat sangat tanpa kita sadari….
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Memoar Ketabahan Rakyat Indonesia

Tabah bukan hanya pada awal, bukan hanya pada pertengahan, tapi tabah haruslah sampai akhir..
Malam ini terasa begitu dinginnya, mungkin dikarenakan musim hujan telah tiba, mungkin juga karena perubahan iklim yang belakangan sibuk diteliti para ilmuwan. Kemungkinan semuanya akan berjalan lancar lancar saja semua yang ada di dunia akan kembali padanya. Demikian pula prediksi berbagai ilmuan yang banyak mengisi kolom teknologi tentang datangnya hari akhir pada tahun 2012.
Namun deikian deru mesin mesin pabrik juga tetap saja beroperasi, dan buruh buruh masih sangat tabah dalam menjalani setiap harinya dengan lembur lembur sampai 24 jam. Ketabahan memang tidak ada batasnya apalagi ketabahan rakyat Indonesia.
***
Ketabahan dipengaruhi pelbagai hal, diantaranya adalah lewat kesadaran, menurut sigmund freud, olah kesadaran terjadi pada ruang terdalam dari diri manusia, bahkan kesadaran sering pula muncul dari proses ketidaksadaran. Tidak sadar bahwa sedang dijajah, tidak sadar bahwa sedang ditipu, yang lebih parah tidak sadar ketika diperbudak. Adakah kesadaran hanya sekedar wacana?
Sebuah refleksi, pada tahun 1112 Saka atau tahun 1222 Masehi, terjadi sebuah pemberontakan didaerah kekuasaan Kediri, tepatnya di Tumapel pemberontakan ini memang lahir akibat ketidak tabahan masyarakat, karena kebijakan pajak dan perbudakan yang tak kenal kemanusian.
Dari sana mulai terlihat adanya nilai lebih, dari hanya sekedar menanam tanaman untuk kehidupan menjadi harus menyisihkan sebagian hasil panen dan ternak untuk membayar pajak kepada penguasa. Petani subsisten sudah tidak ada lagi, mulai diruntuhkan oleh penguasa itu sendiri, namun sebagian penduduk yang tak terima dengan berjalannya sistem tersebut melakukan pemberontakan. Arok merupakan salah seorang tokoh saja bagian dari rakyat yang merasa dirinya ditindas oleh penguasa.
Ketabahan. Dari zaman dahulu saat raja Erlangga memerintah kediri, rakyat nusantara khususnya rakyat Jawa memang tersohor oleh ketabahannya. Mulai dari berlakunya pajak yang memberatkan sampai penculikan anak anak gadis mereka, yang berujung pada perbudakan bujang bujangnya.
Bangsa kita hari ini pun menjadi bangsa yang paling tabah. PHK ribuan buruh saepertinya belum menjadi puncak dari penindasan penguasa. Kesadaran terhadap realita semu yang dibangun oleh media masa, elektronik, dan cetak menjadikan masyarakat ini kian lupa akan ketertindasannya. Dari sinilah ketabahan rakyat dimulai.
Melestarikan Ketabahan
Melestarikan ketabahan sah sah saja dilakuakan, ketimbang mendakwahkan kebohongan. Keberhasilan dakwah lewat berbagai kesempatan forum forum keagamaan hari ini semakin menyebabkan rakyat lari dari kesadaran akan ketertindasan Horisontal kepada ketabahan transendental.
Keterkaitan hubungan horisontal antara manusia yang satu mulai terlupakan. Kehidupan merupakan sebuah proses menuju ke alam kekal, kebanyakan masyarakat cenderung bila sudah tidak mendapatkan kebahagian di dunia hari ini, maka sudahlah tabah saja menjalani kehidupan dengan ketaqwaan demi mendapatkan kebahagian di kehidupan yang lain. Seperti yang diungkapkan Dedi Mizwar lewat film Para Pencari Tuhan.
Keyakinan kearah transenden lagi lagi menjadi senjata untuk menenangkan massa yang sudah jenuh. Musibah musibah yang terjadi, kemiskinan, kelaparan, kebodohan dinilai sebagai takdir dan sebuah proses yang harus dilalui demi menggapai kebahagian Abadi. Keadilan sosial yang termaktub dalam Pancasila terlupa
Padahal sedari tahun 1920 Tan Malaka sudah merumuskan bentuk Republik untuk Indonesia, kemudian Soekarno juga sudah merumuskan tentang sebuah Ideologi yang mampu mengintegrasikan seluruh bangsa dalam Pancasilanya itu. Ketabahan nampaknya sudah menghilangkan ke insyafan kita sebagai sebuah bangsa.
Tabah, malas, atau frustasi yang dialami kita sebagai bangsa. Beberapa kasus uji ketabahan berlangsung di bagian bagian kecil negeri ini. Pertama, ketabahan para orang tua yang anaknya menjadi korban peristiwa Trisakti, 1998. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka melakukan advokasi dan usaha untuk mendaapatkan keadilan demi buah hati tercinta namun aparatus negara tak bergeming. Bahkan aksi kamisan menjadai sebuah rutinitas tontonan biasa bagi aparat tersebut.
Ujian Ketabahan dari Penguasa
Kedua, ketabahan warga sidoarjo dan sekitarnya. Mereka tetap tabah meski sudah berulang kali datang ke Jakarta untuk mendapatkan kadailan atas kelaliman Lapindo Berantas. Sampai hari ini pun dana kompensasi masih belum jelas kapan mau dilunasi.
Ketiga, ketabahan anak anak kecil yang sering berjualan di (Universitas Negeri Jakarta) UNJ, mereka harus putus sekolah karena keterbatasan biaya dari orang tuanya. Orang tua lebih menyuruh mereka bekerja lantaran dengan bersekolah tidak bisa memberikan mereka rasa kenyang.
Keempat, pada tahun 2009 ketabahan warga Sukolilo, Pati Jawa tengah yang karena membela tanah mereka dari gusuran PT semen Gresik harus mengalami tidakan represif yang cukup keras dari aparat. Yaitu dengan menelanjangi massa aksi yang sebagian besar adalah wanita. Dan masih banyak lagi tes sumatif tentang ketabahan yang diberikan oleh penyelenggara negara terhadap rakyatnya.
Lalu bagaimana jadinya kalau ujian ketabahan itu gagal? Rakyat akan melawan? Mungkin akan ada peristiwa penjarahan yang lebih besar dari mei 1998, ketidak tabahan akan menyebabkan sebuah kerusuhan besar dalam negara (Chaos), atau bahkan sebuah rekonstruksi baru Indonesia. Kalau begitu masih mau tabah sampai akhir atau bergerak sekarang juga?
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Hilang

Masyarakat pada akhirnya akan mengikuti semua hasil dari teknologi. Yang nantinya akan memberikan semua tendensi tendensi kepada budaya baru yang tak dikenali lagi. (Herbert Marcuse)


Manusia merupakan sebuah dualisme. Dimana kedudukannya dalam makhluk individual dan juga sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Disadari atau tidak kehidupan manusia yang sedemikian kompleks tersebut tidak muncul begitu saja. Ada banyak pendapat mengenai asal usul manusia. “Manusia berasal dari satu buah (jenis) makhluk yang berevolusi ratusan juta tahun, kemudian menjadi seperti sekarang ini”(Darwin).

Hinggapnya berbagai teori tersebut tentunya menimbulkan rasa semakin ingin tahu yang sangat besar dalam diri manusia. Manusia merupakan makhluk terumit yang pernah ada. Namun terlepas dari kerumitannya itu Herbert Marcuse menggambarkan dapat terciptanya sebuah manusia dalam satu dimensi. Manusia Satu Dimensi, terdengar utopis memang menyatukan berbagai kerumitan dan keberagaman manusia ini.

Herbert Marcuse memulai dari penyatuan politik hingga menjadi satu dimensi. Politik merupakan sebuah alat menunjukan kekuasaan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Menenggarai hal ini mereka berkilah. Manusia dalam berbagai keterbatasan dan kelemahan saling menonjolkan diri. Berusaha terlihat sebagai yang terbaik tetapi terbaik hanya untuk dipandang manusia lainnya. Tidak untuk dirinya sendiri. Mungkin kita semua berusaha untuk mendapatkan yang terbaik dari setiap usaha kita.

Penerjemahan dari setiap kalimat banyak memiliki ambiguitas. Namun hal tersebut akan mendapatkan titik terang etika kita telah sampai kepada bab bab akhir dari buku ini. Yang ingin disampaikan penulis dalam manusia satu dimensi sebenarnya adalah 3 hal yaitu. Masyarakat Satu Dimensi, “ Masyarakat bebas tidak hanya diartikan sebagai masyarakat yang memiliki kebebasan dalam segi Ekonomi, politik, dan sebaginya. Tetapi lebih kepada masyarakat yang mampu memilih dan terbangun dari ketaksadarannya”.

Pemikiran Satu Dimensi, “nalar adalah kekuatan yang subversif”. Kekuasaan dari yang negatif. Pembahasan mengenai logika dan dialektika yang disampaikan oleh Herbert Marcuse sampai akhirnya pemikiran dituangkan kedalam satu dimensi. Penulis juga banyak meminjam teori dari Plato dan Aristoteles. Sebagian dari pemikiran dianalogikan dengan terpenjaranya pemikiran para buruh oleh kaum kapital.

Peluang Alternatif, “Manusia membebaskan dirinya sendiri dari situasinya yang tunduk kepada finalitas segala sesuatu dengan belajar menciptakan finalitas, mengorganisasi sesuatu secara keseluruhan “yang difinalisasi”, yang dinilai dan dievaluasinya. Manusia mengatasi perbudakan dengan mengorganisasi finalitas secara sadar. Demikian kutipan yang bisa diambil dari sekelumit penjelasan Herbert Marcuse dalam peluang alternatif.

Peluang yang akan selalu terbuka dan tidak akan tertutup bagi manusia untuk menuju sebuah pembebasan. Namun apalah arti sebuah finalitas tanpa adanya proses. Proses yang terkait pada finalitas tentuinya aman penting pula untuk diperhatikan. Herbert Marcuse juga tidak melupkan hal tersebut lewat kata “pengorganisasian”.

Herbert Marcuse dalam kesimpulan bukunya ini mengutarakan. “Masyarakat satu dimensi yang sedang maju mengubah relasi antara yang rasional dan irasional”. Kita melihat dewasa ini masyarakat cenderung merubah gagasan gagasan lama yang sudah dianggap tidak rasional lagi. Sebilah garis pembatas tak dapat lagi terlihat. Contoh dari perubahan ini dapat kita lihat bersama dalam karya seni.

Perubahan dari seni yang memikat manusia menjadi manusia yang berkesenian. Di era Gotik tidak ada lukisan berwarna lain selain hitam dan putih. Tidak ada perubahan warna. Seni didominasi oleh kesadaran masyarakat “mementomori” yang tidak segan membangun gereja dengan megahnya untuk mengkerdilkan jiwa manusia itu sendiri. Namun setelah itu ada era dimana para avantgard merubah pola lukisan dan berani merubah warna warna yang terlihat kaku.

Realisasi dari gagasan Herbert Marcuse patut kita renungi. Dimanakah letaknya kesatuan kita sebagai manusia penghuni bumi ini. Tidak ada sebidang harapan muncul untuk merubah. Semangat membawa perubahan sering ditenggelamkan oleh semangat mengikuti perubahan akankah kita tertelan dalam budaya penghambaan terhadap teknologi?

Judul :Manusia Satu Dimensi
Pengarang: Herbert Marcuse
Penerbit : Bentang, 2000
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Kambing Hitam dari Pekalongan

Anton E Lucas mengawali uraiannya tentang keresidenan Pekalongan. Gedung societet sebagai perlambang dari kota Pekalongan dan merupakan tempat penyimpanan senjata dan logistik para tentara Jepang. Penggambaran tentang daerah Keresidenan pekalongan juga dilengkapi dengan Peta, keadaan sosial, dan juga sistem pembagian bahan pokok. Selanjutnya penjelasan mengenai pembentukan pabrik pabrik gula juga tidak luput menjadi pembahasan awal.

Kemudian pengajar di Departement of Asian Studies and Languages menceritakan tentang pembagian senjata, sekolah sekolah tentara, pendidikan militer pemuda Indonesia, juga tentang perbudakan Romusha. Pada masa pemerintahan Jepang keadaan sosial masyarakat di 3 daerah juga amat memilukan.

Petani dan pekerja Romusha seolah menjadi makanan bagi para pangreh praja (golongan elite pemerintahan). Lewat pembagian hasil panen dan bahan pokok yang dikorupsi. Akan tetapi penindasan yang dilakukan para pangreh praja tersebut yang menjadi antogonis dalam peristiwa 3 daerah di pertemukan dengan para lenggaong (Bandit) yang menjadi protagonis.

Peristiwa pendombrengan lurah di Comal merupakan salah satu wujud makin meruncingnya pertentangan kelas di 3 daerah. Dombreng berasal dari bahasa Jawa. Dikarenakan bunyi gedumbrang dambreng yang berasal dari kaleng yang dipukul sebagai iringan saat mengarak pemimpin tersebut keliling kampung.

Peristiwa Pendombrengan yang dipelopori oleh kutil sebagai tokoh lenggaong dari Talang. Dirumah lurah tersebut ditemukan 400 ton beras yang disembunyikan dibawah tanah dan di langit langit rumah.

Fakta fakta yang diungkapkan Lucas soal rentang peristiwa 3daerah sedikit banyak dapat menimbulkan kebingungan bagi pembaca. Namun untuk menanggulangi hal tersebut Lucas di Akhir bukunya membawakan sebuah Postcript. Dalam postcript tersebut Lucas menyajikan hal yang harus dipahami tentang peristiwa 3 daerah kedalam 3 pokok.

Pertama, perubahan ekonomi dan sosial yang terjadi pada masyarakat akibat datangnya modal asing. Kedatangan modal asing yang mengabatkan petani harus kehilangan tanah miliknya (land rente). Selain itu juga pembagian pajak yang amat membebani. Kebijakan modal asing yang membuat petani menjadi pekerja dengan bayaran rendah sehingga terancam kelaparan, kemudian banyak yang jatuih miskin. Perubahan sosial ini tentunya semakin menghilangkan kelas menengah dalam masyarakat.

Para pangreh praja dan pejabat pemerintahan dapat menyekolahkan anak anaknya disekolah sekolah belanda yang bagus dan mahal harganya, tentu tidak dapat dijangkau petani dan rakyat pribumi kebanyakan. Situasi seperti ini tentunya semakin memperburuk kehidupan sosial di masyarakat.

Kedua, kedatangan Jepang. Kedatangan Jepang dengan kebijakan pembagian bahan pokok termasuk kain, dan perumahan juga berpengaruh besar lahirnya revolusi sosial di Keresidenan pekalongan. Para petani dan pribumi hanya mendapat 10 potong kain untuk tiap keluarga. Sebagian besar kain diperuntukan untuk kaum wanita. Dan yang lelaki hanya mendapat sisa bahkan hanya mengenakan karung goni. Rakyat makin menjadi miskin dan pelbagai penyakit mewabah. Tentunya hal ini semakin membuat hubungan Rakyat, Pangreh Praja, juga para Patron pabrik pabrik gula semakin merenggang jauh.

Ketiga, terjadinya revolusi sosial tahun 1945. rakyat di Keresidenan Pekalongan menggeser para elite yang pro terhadap fasisme dan kolonialisme. Dengan di pelopori lenggaong mereka menurunkan secara paksa pejabat pejabat tersebut dan menggantinya dengan para pemimpin dari barisan pejuang radikal revolusioner. Sebagai contoh adalah di daerah Talang.

Kutil yang naik sebagai lurah. Setelah lurah sebelumnya di Dombreng (diarak keliling kampung) dan didalm rumahnya ditemukan timbunan pelbagai jenis bahan pokok. Merasakan berbagai penderitaan dan penindasan bersama yang akhirnya menimbulkan slogan One Soul One Struggle (Satu Jiwa dan Satu Tujuan).
Namun sayangnya revolusi sosial yang terjadi di pekalongan dianggap sebagai gerakan separatis oleh pusat.

Kutil, Amri, dan kawan kawan yang menjadi pelopor pendombrengan ditangkap dan diadili. Kisah persidangan kutil yang dilakukan pada 1947 sangat memilukan. Hal ini di bahas secara detil oleh Lucas. Tentang pengakuannya dipersidangan. Kutil mengakui bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan puluhan pangreh praja pro Jepang. Namun anaknya memberi kesaksian bahwa ayahnya tidak pernah membunuh satu orang pun. Pada akhirnya kutil dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Lucas memang menulis dengan kaya fakta. Akan tetapi dalam penyampaian dan deskripsinya tentang peristiwa demi peristiwa terasa membingungkan. Mengkin memang dalam peristiwa tersebut terjadi pembingkaian cerita. Agaknya penulisan sejarah dengan menggunakan metode wawancara, Oral history ”sejarah lisan” mampu menjawab bagaiman penulisan sejarah agar tidak menjadi pengakuan atau Peng-akuan sejarah yang terjadi di Indonesia. Seberapa besar kritik terhadap buku ini, tapi bagi kalangan pelajar dan yang tertrarik pada sejarah Indonesia buku ini cocok menjadi rerferensi.

Judul : One Soul One Struggle : Peristiwa tiga daerah dalam revolusi Indonesia
Penulis : Anton E Lucas
Penerbit : Ressist Book
Tahun : 2004
Tebal : 400 hal.
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Surat Dari Tegal

Proklamasi 17 Agustus 1945 ternyata bukanakhir dari perjuangan merebut kemerdekaan dari Jepang. Akan tetapi masih banyak lagi perjuangan yag harus dilalui bangsa Indonesia untuk menjadi negara merdeka seutuhnya.

Tegal. Sebuah daerah, kota di Indonesia. Di pulau Jawa tentunya. Bila kita mendengar nama daerah ini mungkin yang paling kita ingat adalah Warungtegal. Yah, tempat makan, warung nasi yang harganya merakyat. Tapi bukan warteg yang akan saya bahas dalam tulisan ini.
***
Ketika pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Indonesia daerah Tegal merupakan potret kecil penindasan. Banyak kisah teragis menjadi warna dominan cerita rakyat mengenai daerah ini. Anton E Lucas dalam bukunya One Soul One Strougle mencoba mengajak kita mengenal tegal lebih jauh. Bukan hanya sebatas Tegal sebagai Propinsi, daerah penghasil Tebu melainkan Tegal dalam sebuah revolusi sosial.

Pertentangan kelas terlihat dengan jelasnya. Petani bertugas memproduksi padi hanya mendapat bagian 10 gr dari total panen yang sudah dibagi perhari. Rumah rumah para pengawas perkebunan beserta pegawai pemerintah lainnya beratapkan genting dan dibatsi oleh tembok tembok kokoh yang berdiri. Sementara rumah petanivgmpribumi penggarap sawah hanya beratap jerami, bahkan bertiang dari bambu. Pergolakan yang terjadi di Tegal merupakan sebuah rentetan kekesalan dan tumpahan perasaan rakyat terhadap penguasa.

Tegal termasuk kedalam basis pergerakan peristiwa 3 daerah. Didaerah ini pula berdiri basis basis kekutan bawah tanah pemasok informasi tentang keadaan perang diluar negeri yang diperoleh dari radio pemberian jepang. Pada tanggal tanggal 20 Agustus 1945 kelompok pemuda pelopor kembali membawa pesan kejakarta dengan isi Jagalah Kemerdekaanmu. Pesan tersebut tentunya merupakan serbuah peringatan peringatan secara keras bahwa perjuangan para kaum revolusioner belum selesai.

Para pejuang yang tak kenal lelah dengan penuh semangat tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam naskah proklamasi bahwa pemindahan kekuasaan dan lain lain di selesaikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Terlepas dari isi teks proklamasi itu sendiri perjuangan tidak berhenti sampai tanggal 17 Agustus 1945.

Selanjutnya seluruh kekuatan yang berbasis di daerah daerah, dengan segera mengabarkan bahwa Indonesia telah merdeka. Akan tetapi ketidaktahuan masyarakat didaerah tentang proklamasi mengakibatkan pangreh praja semakin represif terhadap para pejuang. Di keresidenan Pekalongan sendiri bupatinya masih dengan tegas menyatakan sikap untuk menunggu pendelegasian kekuasaan dari tangan Jepang.

Wujud keberpihakan tersebut adalah dengan tetap mengibarkan bendera Jepang di Alun alun kantor keresidenan. Beruntung para pemuda, lenggaong (Bandit), beserta rakyat yang terdidik tidak mau tinggal diam. Dengan kekuatan (pengaruh) Lenggaong yang mempunyai karisma di masyarakat, semua elemen bergerak untuk melakukan penurunan bendera Jepang tersebut.

Melihat peran lenggaong sendiri didalam basis pergerakan di Pekalongan khususnya di Tegal. Anton E. Lucas memaparkan ketika para jago berusaha mengusung pembebasan terhadap belenggu pangreh praja. Dalam hal penurunan bendera teringat insiden yang melibatkan tentara (genseikabu) Jepang dengan para Jago dari Tegal.

Kemudian dengan penuh semangat dan juga kesadaran bahwa “diJajajah” kemudian sudah merdeka. Rakyat semesta didukung oleh berbagai organisasi didalamnya turut bergerak bersama mengibarkan sang dwi warna.

Setelah itu apa yang terjadi dengan para Jago? Para jago yang digambarka Lucas hanya megambil peranan sebagai seorang yang bergerak melalu kekerasan. Citra yang didapat lewat perjuangannya yang sekali membenturkan diri langsung secara frontal dengan cara membunuh dan mencuri harta harta petinggi membuatnya menjadi kambing hitam atas seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di daerah. Khususnya keresidenan Pekalogan.

Jago dalam sejarah Indonesia juga berperan lewat berbagai oraganisasi. Seperti ungkapan Ong Hok Ham, “Rakyat yang menentang pemerintahan pada waktu itu sering dilihat sebagai organisasi organisasi para jago.” Sehingga pertentangan antara pemerintah kolonial dengan rakyat nusantara sering dianggap pertentangan antara bromocorah dengan penguasa resmi.

Terlepas dari itu semua kita tentu tidak begitusaja menyalahkan keterlibatan dari berbagai elemen terkait para jago. Baik pemerintahan kolonial maupun para pejuang sama sama memiliki para Jago. Akan tetapi sekali lagi para Jago tersebut bukan hanya Jago destruktif atau merusak. Bukan hanya Jago minum arak atau main Judi. Tapi Jago yang benar benar Jago yang memiliki pengikut serta ilmu kesaktian, bahkan sampai ada yang tidak bisa dihukum mati dan harus dibuang keluar daerahnya.

Apakah sikap dan mental jago masih penting di amana Intelektual? Relevenkah jago masih ada diruang akademik seperti kampus? Yang bisa menjawab adalah kaum intelektual. Jago tak lagi zaman karena masyarakat butuh pendidikan. Enyahlah kau jago jago kandang!!
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »