Indahnya Gratistististis...




...Andai a... a.... a... ku jadi orang kaya, gak usah pake kerja... (Opi Andaresta-Andai)

Puji syukur kita semua panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa. Hari ini ketika bangun di pagi hari kita masih bisa menghirup udara (O2) dengan bebasnya, dengan gratis. Puji syukur juga kita panjatkan kepada tuhan karena hari ini kita masih bisa terbangun dari tidur tanpa membayar uang kontrak hidup buat sehari kepada malaikat pencabut nyawa.
Bersyukur pula kita masih berada di bumi nusantara walau keadaannya kian semrawut tapi kita masih bisa dengan mudah mencela dan mengkritik penguasa, walau tak bergeming dikritik. Semuanya dilakukan dengan ikhlas dan tanpa meminta bayaran sedikitpun. Walau si penerima kritik sering memanfaatkan kita untuk mendapatkan tambahan pundi pundi rekeningnya.
Memang kita terbiasa mensyukuri dan nerimo semua keadaan beserta nikmat yang diperoleh. Baik lewat membayar ataupun dengan jalan gratisan, lantas pertanyaannya apa yang kita dapat gratis dari menjadi warga negara negeri yang sedemikian kaya ini? Untuk membuat kartu identitas saja harus bayar, untuk mendapatkan pendidikan harus bayar, susahnya jadi rakyat.
Menarik tentunya ketika rakyat hanya mendapat fasilitas udara yang katanya masih gratis disisi lain masih ada saja tuntutan untuk mendapatkan mobil gratis, laptop gratis, rumah lengkap dengan fasilitasnya yang gratis, mobil gratis, bahkan sampai bensin pun gratis. Oleh para wakilnya sendiri, yang sepertinya sering menggratiskan hak hak rakyatnya. Ditengah kemiskinan dan kelaparan yang terus diwartakan surat kabar.
Menurut Elias Canetti seorang filusuf abad 20 asal Jerman Individu (manusia) yang sudah masuk kedalam massa yang berkuasa akan cenderung bermetamorfosis, bermetamorfosis menonjolkan sifat kehewaniannya, karena manusia merupakan hewan yang amat rumit, apalagi ketika dia sudah masuk kedalam trah penguasa.
Luar biasa memang melihat realitas yang dialami oleh bangsa ini. Bangsa yang terberingsut karena bermental gratis tanpa punya inisiatif. Dari mulai fasilitas untuk transportasi waktu Jendral Mas Galak (baca:Deandles) memerintah sampai pada saat Washington konsensus resmi disahkan, bangsa ini selalu menginginkan segala hal yang gratis. Maklum namanya juga bangsa imajiner. Semuanya masih abstrak, mungkin yang konkrit hanya keinginan untuk selalu gratis.
***
kebiasaan bergratis ria tidak bisa dipungkiri memang sudah menjadi tradisi. Mungkin sudah sewajarnya bila rakyat yang menganut tradisi gratis ini. Akan tetapi akan sangat miris bila kebiasaan menggratis dianut oleh para elit (pengusaha_pemodal, eksekutif dan legislatif). Para elit idealnya memegang amanat dari rakyat, karena dipilih oleh rakyat. Keputusan untuk mendapatkan segalanya dengan gratis ternyata bagi rakyat telah melalui banyak pertimbangan.
Salah satunya rakyat Irian, nasibnya masih gratis dalam memakai koteka dan hidup dibawah bayang bayang penyakit HIV, ketimbang mendapatkan pekerjaan yang layak lewat kontrak RI dan Freeport.
Misalnya, ketika sungai bengawan solo yang menguap dan menimbulkan banjir untuk sekian kalinya sudah sewajarnya mereka mendapatkan obat obatan dan bantuan pangan secara cuma Cuma. Setelah setiap bulan tidak telat membayar tagihan retribusi sampah kepada pemerintah daerah. Celakanya dengan gratis pula pemerintah daerah membiarkan para korban bencana alam tidak mendapat tempat pengungsian yang layak.
Gratis atau dengan istilah sederhananya free, ialah mendapatkan sesuatu tanpa mengorbankan apapun. Sebagai contoh, anto seorang pengamen ingin memesan makanan karena perutnya lapar, akan tetapi ia harus mengamen dulu sampai ia dapat mengumpulkan uang untuk membeli nasi bungkus, tentunya nasi hasil bekerjanya bukan di dapat dengan gratis. Lain halnya ketika orang orang orang di senayan (red_anggota DPR) menginginkan sebuah note book sebagai sebuah fasilitas untuk mengakses informasi dan komunikasi berkenaan dengan tugasnya sebagai wakil rakyat. Mereka tidak segan menuntut haknya untuk mendapatkan sesuatu dengan gratis setelah menggratiskan kewajibannya kepada rakyat.
Masih bagus rakyat yang sudah digratiskan kesejahteraannya lewat kenaikan harga bahan bahan pokok tidak menggratiskan kepala para elit ini. Kalau dulu terkenal ada istilah “Makanlah walau hanya dengan sambal saja”, sekarang istilah itu praktis akan mulai hilang sebab harga cabai sebagai bahan baku utama membuat sambalpun praktis naik. Mencapai 28 ribu per kilogramnya. Menjadi “Makanlah walau tidak ada sambalnya”.
***
Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak gratis bagi rakyat kini sudah tidak ada. Seterusnya para wakil yang masih mau mendapat segala gratis bagi rakyat kian beringas. Toleranasi gratis dari rakyat untuk rakyatnya kian pudar pula. Digusurnya aneka pedagang kaki lima oleh titah Pemda juga membuktikan hal tersebut. Lapangan kerja yang sudah seharusnya gratis, biarpun sudah membayar uang sewa (retribusi) masih harus digusur.
Rakyat malah kian termarjinalkan oleh kegratisan yang ditawarkan pihak eksekutif maupun penyelenggara negara. Kalau begitu apa yang masih gratis tersisa untuk rakyat? Jawabannya ada ketika partai politik menyajikan iklan yang dapat di tonton gratis oleh rakyatnya.
Sayangnya menjelang pemilu 2009 pemasangan iklan tersebut tidak gratis dilakukan oleh partai politik peserta pemilu. Akan tetapi seyogyanya isi dan aplikasi iklan tersebut kedepannya tidak saja menjadi pepesan gratis dari calon penguasa untuk rakyatnya.
***
Banyak isi dari iklan itu yang memasukkan pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan lapangan kerja yang gratis tanpa penggusuran, sampai transmigrasi gratis. Namun semua itu disikapi gratis pula oleh rakyatnya. Gratis dalam artian memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti.
Jadi masih banyak hal gratis lainnya yang belum diberikan anggota legislatif dan eksekutif bagi rakyatnya. Masih mau menuntut gratis? Bayar dulu hutang hutang pada rakyat,, Hidup Rakyat!!

[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »