Utopia MWWS tanpa Kekerasan

Tidak ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia lainnya
Tidak terasa, sudah hampir enam tahun saya bersentuhan dengan sebuah organisasi. Sanditala. Sebuah organisasi sekaligus menjadi rumah. Yah, saya merasakan itu. Pernah ada seorang kawan di dalam organisasi itu bercerita. Sembari menunjukkan puncak gunung salak. Dia kemudian memulai ceritanya. “lihat lah, disana, dari sana kalian bermulai, dari nol.” Ujarnya bercerita dengan air muka yang serius (padahal anaknya kagak pernah serius). Memang semua bermula lewat sebuah kelompok kecil manusia manusia yang doyan bertualang dialam terbuka kemudian hari ini saya telah menjadi seseorang manusia, yang kebetulan dapat sedikit banyak membantu manusia lainnya.
Sampai hari ini, saya masih memegang teguh bahwa manusia harus berorganisasi dan mengorganisir diri. Manusia sebagai individu disadari atau tidak tetap membutuhkan organisasi. Pasalnya setelah lebih dari setahun lamanya saya kurang berkomunikasi dengan organisasi awal ini. Sekitar 3 minggu lalu, setelah lama berdialog lewat situs jejaring sosial, akhirnya saya bertemu dengan kawan seperjuangan (digamparin bareng waktu pendidikan). Pertemuan berlangsung cepat. Karena saya ada tugas mendadak dari kantor pun, demikian saya sudah menyuampaikan apresiasi, dan kesanggupan untuk berdialektika kembali di Sanditala.
Ikatan Alumni Sanditala (IAS) ialah sebuah wadah tersendiri yang terpisah dari Sanditala. Kendati demikian tanggung jawab dalam IAS tidak lebih kecil saat masih menjadi pengurus sanditala. Salah satu tanggung jawab IAS membentuk kepanitian Manggala Widya Wana Sanditala (MWWS). Dari tahun ke- tahun MWWS menjadi tanggung jawab alumni, mulai dari konsep, hingga pelaksanaan teknis. Perhelatan MWWS yang rutin setiap tahunnya berjalan dan sudah selama 23 tahun berlangsung.
Tradisi atau konsepsi
Entah sekadar tradisi atau sudah menjadi konsepsi bersama kalau acara MWWS yang memiliki tujuan untuk mendidik, tidak dapat dilepaskan dari kekerasan. Pernah, satu kali ada gagasan tentang MWWS tanpa kekerasan, pun demikian hal tersebut hanya menjadi Utopia. “Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan,” ungkap salah satu alumni tua. Tujuan sesungguhnya dari MWWS sepengetahuan penulis adalah menjadi awal, gerbang dari para calon pengurus Sanditala untuk kemudian menjadi loyal, dan konsisten dalam menjalankan kerja – kerja organisasi. Pasalnya, haruskah semuanya dilakukan dengan model pendidikan a’la militer. Mengingat kebutuhan mereka sebagai seorang siswa sekolah menengah, dan bukan untuk berperang.
Sanditala, yang merupakan sebuah organisasi kepencintaalaman, sesuai dengan namanaya Science and Nature Lover. Sudah pasti merupakan organisasi yang mencintai pula nilai – nilai kemanusian. Sebuah kenaifan yang akut bila kita melupakan nilai – nilai sebagai manifestasi kita terhadap manusia, kemudian melegitimasi diri sebagai pencinta alam. Sejarah kepencintaalaman di Indonesia sendiri merupakan buah dari perjuangan, dan penghargaan yang tinggi terhadap kemanusian. Sejarah organsiasi pencinta alam merupakan pengembangan dari gerakan kepanduan, yang di inisiasi oleh Lord Boden Powell. Kendati demikian model pendidikannya, sampai hari ini tidaklah sama. Gerakan yang dirintis oleh Lord Bodden Powwel hari ini di Indoensia di klaim menjadi gerakan Pramuka. Sedang gerakan kepencintaalaman, sesungguhnya lahir, karena kepedulian terhadap lingkungan, dan sesama. Sedang ketika melihat ke Indoenesia, organisasi kepencintaalaman, yang paling tua adalah Wanadri. Wanadri sendiri tidak melabeli dirinya sebagai pencinta alam, melainkan pendaki gunung dan penempuh rimba. Model pendidikan Wanadri pun tidak tanggung tanggung, model pendidikan yang semi militer, karena dari sejarah organisasinya pun dibentuk oleh militer.
Lewat sebuah pelatihan yang terbukan untuk umum Sekolah Pendaki Gunung (SPG) Wanadri membagi sekian banyak keilmuan dasar untuk bekal beraktifitas dialam terbuka. Sekolah yang dgelar selama dua minggu ini perlu dicatat, pelaksanaan teknisnya tanpa kekerasan sama sekali. Karena memang bertujuan untuk membagi ilmu, melakukan pembekalan keterampilan. Kemudian pertanyaan berulan ketika saya mengikuti sekolah tersebut. “Apa yang didapat orang (siswa) Sanditala dari kekerasan fisik saat pendidikan?” pertanyaan tersebut agaknya perlu dijawab oleh kita semua yang masih perduli dengan organisasi tersebut.
Seorang pemikir pendidikan asal Brazil, Paulo Freire mengungkapkan dalam sebuah bukunya, Pendidikan Masyarakat Kota. Bahwa pendidikan yang cocok untuk masyatakat kota, khususnya di negara berkembang ialah pendidikan berbasis kebutuhan. Yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan para siswanya. Untuk mengetahui kebutuhan dari para siswa (calon pengurus sanditala) dibutuhkan riset dan pendampingan. Untuk itu jenjang pendidikan harus dibuat setertib dan terencana mungkin. Pendidikan menurut Freire ialah memanusiakan manusia.
Sedangkan yang saya alami selama, beberapa kali mengikuti kegiatan MWWS, tidak ada sedetikpun unsur pendidikan selain Bulying, dan Perpeloncoan. Alam tidak mengajarkan pemaksaan tapi harmoni. Ada sebuah potret masyarakat, yang mungkin lebih mencintai alam dari pada masyarakat kota yang memiliki gelar pecinta alam. Masyarakt Samin saya rasa cukup menjadi referensi bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan sesamanya dan alam. Masyarakat Samin tidak sulit ditemui, mereka masih terus beranak pinak dan meneruskan tradisi, didaerah Pati, Blora, Jawa timur.
Pada akhir tulisan saya tentang MWWS ini saya kemudian ingin menyampaikan bahwa teknis, pelaksanaan MWWS, yang keliru harus diubah. Perubahan yang saya tawarkan ialah soal penghapusan kekerasan fisik secara total. Sedang perihal sistematika kerja, pelaksanaan Materi, tempat, dan waktu pendidikan kita bisa bicarakan sambil berjalan. Saya jadi teringat tutur cerita mas Sugeng Indraji, Sanditala dahulu pernah berjaya, melakukan ekspedisi, ketempat yang belum pernah di jamah oleh manusia lainnya. Sanditala pernah memiliki banyak anggota, yang loyal dan tidak sedikit dari alumni sanditala yang bisa memberikan penghidupan dan pekerjaan bagi manusia lainnya. Apakah mereka di didik dengan pola dan teknis pendidikan dengan kekerasan fisik?
Bagi saya MWWS tahun ini membutuhkan konsepsi. Ada atau tidaknya kekerasan harus dibicarakan sebelum diputuskan. Kendati demikian saya sebagai individu, bila dipercaya menjadi Operasional dalam MWWS akan mengundurkan diri bila kekerasan fisik akan tetap dilaksanakan pada MWWS ini. Karena tradisi pendidikan apapun yang disertai kekerasan, merupakan tradisi institusi militer, bukan institusi pendidikan. Mendaki gunung ialah sebuah olahraga yang membutuhkan kekuatan fisik, bukan berarti setiap acara harus memakai sentuhan fisik. Sepertinya tradisi, kontak fisik, sudah menjadi rahasia umum bagi seluruh individu, yang beergelut dalam organisasi kepecintaalaman, untuk itu, tradisi yang salah menurut saya harus diubah.

Categories: