Surat untuk Kawan

Kawan, sudah kah kalian pernah melawan. Beribu alasan untuk tetap tegar bertahan, sejuta amarah yang tertahan. Kawan saya masih disini ditempat yang pernah kita singgahi. Pernah kita nikmati disaat perut terasa perih. Saat kita berjalan meski mata masih terasa letih. Sayang semuanya hari ini telah terhenti.
Hanya untuk sementara kawan. Banyak jalan bercabang di depan menanti. Seandainya saya terlanjur mati terlebih dahulu, jangan kau ingat tentang surat ini. Meski terasa tertati jari dan mata ini harus kutulis semua yang ada dihati. Seperti kehidupan, bila ada pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap ada awal pasti ada akhirnya. Kalian mesti sudah lebih mengetahui tentang kehidupan, karena setiap manusia itu bekerja untuk menghidupi dirinya. Ketika semua sudah terasa ada, maka seorang manusia akan terlena seperti binatang ternak yang tidak peduli pada esok hari dia akan melengkapi sepiring nasi dari si empunya ternak.
Kapan waktu saya inginkan bicara ini dalam forum. Tapi waktu kian jauh memenggal jarak kita. Tahukah kalian kiranya, saya dalam situasi seperti apa. Seperti pohon bambu yang miring ketimpa angin. Ingin menjadi patah namun terus, berada di akar. Salah. Saya mengaku, keunggulan akal dan pikiran diluasnya ilmu pengetahuan ternyata tidak bisa membantu saya menerjemahkan apa yang saya rasakan hari ini. Saat ini kawan, saya diselimuti sejuta sunyi. Yah, karena dengan sunyi pula seorang bisa menjadi besar. Jalan yang saya pilih adalah lari. Dari segenap kebebasan, kebebasan itu harus saya bayar mahal dengan hidup terus dalam jeruji ini. Semewah apapun kandang yang dibuat, tidak akan ada ayam hutan yang nyaman tinggal dikandang. Mungkin saya lebih lebih hinakan dari ayam tersebut.
Karena memang di ruang yang dulu pernah kita bersama berdinamika, ternyata saya tidak bisa lakukan apa – apa. Terimakasih atas kerjasamanya, karena kawan, tanpa kalian saya bukan siapa – siapa. Mungkin hari ini kalian dapat berlenggang dengan tentram tanpa harus memikirkan setiap kegilaan dan ketidak normalan yang saya buat. Semuanya bukan karena kesengajaan, karena memang saya tidak lagi sedang bergurau. Terlalu banyak bergurau akan menimbun kesadaran yang sudah lama kita bangun dan jaga. Kawan bila kalian tengah tertidur karena seharian bekerja, tahukah apa yang sedang saya pikirkan? Saya hanya berpikir bahwa saya sama sekali belum menjadi manusia seutuhnya. Karena manusia harus bekerja agar tidak binasa.
Kuliah dan Kerja
Kawan, tidak pernah sekalipun saya bangga di sebut sebagai mahasiswa karena itu menjadikan kita seolah ksatria yang sebenarnya sudra. Ketika sebutan itu terus mendengung ditelinga ingin rasanya saya lemparkan tubuh dari lantai tertinggi gedung di dunia. Seperti apa adanya kalimat terasa berat. Seandainya saya bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim seorang ibu yang mana, tentu saja saya akan memilih dilahirkan ditengah keluarga yang seperti kalian. Kalian lebih merasakan penindasan, yang akhirnya menjadi tahu betul penindasan. Pun demikian saya sudah terlahir dengan keberuntungan. Dari rahim seorang ibu, yang sekarang saya banggakan, dan besar ditengah keluarga yang tidak disebut wah, namun hangat dan ramah.
Kawan, kita sama – sama kuliah dikampus. Belajar dibawah struktur yang sama. Masih dibwah payung pendidikan nasional Indonesia. Tapi sadarkah engkau kawan berhasil tidak nya suatu kerja ditorehkan dari proses mengerjakannya, bukan dari hasilnya. Tidak ada pengetahuan tanpa praktek, kata Paulo Freire dalam dialognya dengan buruh.
Keyataan lahirkan kesadaran. Bahwa tidak semua dari kita terpaksa teralienasi bekerja, sembari belajar. Kenyataan juga saya sebagai seorang pelajar yang tidak bekerja menanggung beban yang tidak sedikit. Sedari bangun tidur sampai akan tidur lagi, saya terus teringat akan bercucurannya keringat orang tua saya, keluar hanya untuk membiayai hidup saya. Tidak hanya keringat orang tua, melainkan juga keringat pedagang kaki lima dan buruh pabrik kota, pembayar pajak setia namun tidak mendapat dampak nyata dari negara. Mereka memimpikan seorang nantinya akan mengubah nasib mereka, minimal anak cucu mereka dari bangku bangku lapuk perguruan tinggi yang sampai hari ini menyisakan derita.
Seperti berharap hujan berwarna turun di dunia, begitulah harapan mereka, mengingat masih adanya orang seperti saya yang menganggur tidak bekerja, dan kehilangan semangat untuk menulis, atau meliput saja. Tahukah kawan, saat ada pilihan untuk bisa menjadi kaya namun harus membatukan hati, saya memilih hidup bersahaja. Bagitu juga bila ada pilihan untuk memilih revolusi atau sama sekali tidak memakan nasi saya pilih tidak makan nasi. Begitu naifnya diri ini hingga sampai malam ini saya masih terus tenggelam. Mungkin kalian memandangnya sederhana, bahwa saya hanya sekadar orang gila yang tidak punya makna.
Bahkan untuk mengatur diri sendri terasa sulitnya. Mengenal tanggung jawab, dan menutup hak menjadikan dewasa dan matang sebelum waktunya. Jujur keinginan tidak luput hanya menjadi derita, bila tidak ada hasrat untuk mewujudkannya. Demikian pula waktu saat ini. berangan tanpa bekerja. Namun, apa salahnya saya menulis beberapa kata, toh kalian tidak dilarang untuk membantahnya.
Ketika ada semangat untuk bekerja namun tiba – tiba hilang begitu saja. Entah karena psikologi yang terlalu kekanakan, atau memang sudah nyata gilanya. Betapa pentingnya bagi saya untuk bisa berguna. Apalah arti kegunaan bila tidak nyata. Bersyukur memang tidak semudah tutur, anggap saja keberuntungan saya berhenti ketika menulis surat ini, karena dalam ide saja bekerja tidak bisa sambil asal saja. Kalian sudah bersentuhan dengan dunia nyata, sementara saya masih ada di ide semata. Idealnya pekerjaan dipilih salah satu saja, mungkin itu juga kalian rasakan mustahil adanya, karena itu sayapun demikian. Mustahil saya menyelesaikan semua, tanpa hadirnya keseriusan dari kalian.
Setertib dan seindahnya sebuah alasan, bagi saya hanya tetap sebagai alasan. Deadline sudah menunggu, tapi saya masih termanggu. Cerita usang yang dulu, kini hadir melulu. Entah mengapa, bukan karena dia yang sudah berlalu, tapi sesuatu yang baru, saya rasa amat mengganggu.
Tak bisakah kalian membantu, untuk sekadar menghapus rasa rindu akan kehadirannya. Tidak dapat mengatasi hal yang kecil, bagaimana bisa berhasil dengan yang besar. Tidak dapat dipungkiri organisasi yang sedang kita bersama urus adalah organisasi besar. Namanya sudah ada dalam sejarah berbarengan dengan munculnya perubahan. Perubahan yang tidak sedikit kawan, sampai, semakin terus melonjaknya ambang batas kemiskinan. Bantulah pesakitan ini agar bisa pergi dengan tenang tanpa beban, untuk sebuah nama, yang akan selalu ia kenang. Terang benderang, sejatinya menjad ukuran, karena soal hati siapa yang tahu, sakitnya ini terlampau sekali, sehingga saya lebih memilih belati, untuk penghabisan nanti. Hujamkan belati itu kawan, semoga kelak kalian tidak akan mengingat tentang saya yang sakit hati. Melainkan mengingat seorang kawan sejati yang sudah pergi.
Janganlah kalian menaruh dendam pada nama yang membuat saya pergi, pun dia tidak tahu menahu soal hal ini. dia yang tidak akan pernah saya miliki namun akan abadi dalam hati, seperti sunyi dipagi ini. Derita sunyi ternyata lebih menekan hati, ketimbang belati ini kawan, saya rela ditikam berkali, asal tidak meresakan kesunyian ini. . . . . ..


Jl. Praktekan, rabu 20 Juli 2011