Redefinisi Kebudayaan

“Pada era pascamodern ini kebudayaan tidak lagi bebas niali” (Syaiful Arif-refilosofi kebudayaan. Hal.141)
Tidak bebasnya sebuah kebudayaan itu tanpa disadari kita rasakan setiap hari. Semisal dalam sebuah tayangan sinetron di telivisi yang banyak mengambil setting rumah mewah dengan halaman maha luas dan pagar laiknya benteng perang. Secara tiadak sadar alam bawah sadar dalam ranah psikologis Individu, berkehendak, bahwa rumah mewah tersebut ialah ukuran kesuksesan dalam kehidupan nyata, dan harus didapatkan. Untuk itulah setiap personal, khususnya di Indonesia kemudian rela mengambil jalan apapun untuk mendapatkan rumah yang tergambar sedimikian rupa seperti dalam sinetron.
Demikianlah definisi kebudayaan mengalami banyak perubahan makna. Sampai hari ini kebudayaan pun menjadi sebuah kaata yang populis, sehingga dapat dipakai oleh siapapun. Doketer, sosiolog, antropolog, maupun Sejarahwan. Setiap profesi memiliki sudut pandang berbeda dalam mendefinisikan kebudayaan. Mulai dari sudut fungsi, ide, sampai praksis. Lalu dimana letak sejarah kebudayaan?
Syaiful Arif adalah seorang yang mencoba meredifinisi sekaligus memunculkan kembali makna kebudayaan. “makna yang normatif, dan jelas” kebudayaan secara lugas didefinisikan oleh pria pengagum Gusdur ini sebagai memanusiakan manusia. Menurut Arif sebuah kebudayaan akan muncul lewat sebuah proses Pendidikan, yang memanusiakan manusia. Bagi Arif, kebudayaan lekat hubungannya dengan identitas sebagai seorang manusia. Dalam sebuah kelompok atau komunitas, kebudayaan dapat dimunculkan lewat proses bagaimana manusia memanusiakan lingkungannya, alam, dan sekitarnya.
Perbedaan paling mendasar tentang sejarah kebudayaan dan cultural studys ada pada ranah metodologi. Bila pada cultural studies tidak diwajibkan mengkaji budaya dengan rentang waktu (hukum kausalitas) tidak sebaliknya dalam Sejarah Kebudayaan. Dimensi Sejarah dalam kebudayaan menjadikan kajian kebudayaan erat kaitannya dengan waktu. Prosesual. Perubahan makna mulai dari zaman manusia primitf mendfinisikan kebudayaan, hingga pada zaman pascamodern (posmodern) menjadikan buku ini sangat layak dijadikan sebuah referensi tentang sejarah kebudayaan. Meskipun penulis memunculkan prosesual perubahan makna budaya secara tersirat dan dalam bab ke-IV bukunya menolak membahas tentang perubahan definisi kebudayaan secara prosesual karena ketakutan akan terjebak dalam sebuah Idealisme “Hegelian”. Pembahasan Kebudayaan secara Diakronik secara gamblang dimunculkan dalam bukunya.
Mulai dari prroses kebudayaan yang bersifat “strukturalisme” erat kaitannya dengan otoritas politik penguasa. Sampai kebudayaan yang bersifat evolusionisme. Pria kelahiran kudus ini juga banyak membahas soal definisi kebudayaan mulai dari Leslie A white, Goerge Luckass, sampai Clifort Geertz. Adapun secara lugas penulis buku ini kemudian mempertegas definisinya mengenai kebudayaan dengan mengulas definisi dari para ahli tersebut. Menurut pendapat kami kebudayaan seperti yang terdefinisi oleh Syaiful ialah awal dari bentuk peradaban yang kian kompleks sampai hari ini. Dan sampai hari ini pula kelompok kami masih beranggapan bahwa kebudayaan ialah persoalan mengenai makna dibalik sebuah perilaku dan tindakan yang saling mempengaruhi baik dalam ranah sosial maupun ide.
Setelah menyelami pemikiran Syaiful Arif, perihal kebudayaan ternyata bukan saja menyangkut persoalan deffinisi secara (ontologis) an sich melainkan secara epistemologis juga tidak bisa dikesampingkan. Idealnya dalam pembelajaran mengenai sejarah kebudayaan kesepakatan soal ontologis dan epistemologis mengenai dua konsep “Sejarah” dan “Kebudayaan” didamaikan dalam satu sudut pandang- sudut pandang Indonesia.

Categories: