Tidak Sekadar Didiskusikan

“Kalau menilai kontribusi, yang jelas kontribusi gerakan 1998 tidak sekadar menurunkan rezim. Melainkan berbagi amandemen terhadap UUD’45.” (Ubeidillah Badrun- Aktivis FKSMJ 1998)
Membicarakan reformasi 98, tidak sekadar menjadi romantisme para pelakunya melainkan juga menjadi sebuah bukti nyata, pengakuan terhadap perubahan yang dilakukannya. Tidak dapat dipungkiri peristiwa 98 merupakan sejarah. Untuk dipelajarai, menjadi contoh, sekaligus eevaluasi terhadap gerakan mahasiswa. Sudah lebih dari satu dekade peristiwa 1998 terjadi. Peristiwa tersebut pada hari Jum’at 10 Juni 2011 kembali diurai oleh sekelompok mahasiswa jurusan Sejarah.
Kendati telah lebih dari satu dekade, sediktinya literatur tentang peristiwa tersebut, juga kesadaran mahasiswa yang seakan acuh, dan hanya tahu mengkritik menjadi latarbelakang terselenggaranya acara tersebut. Mei 1998 hanya menjadi kulminasi. Kampus IKIP Jakarta (baca : UNJ) ternyata memiliki kontribusi yang tidak sedikit. Hadir dalam diskusi tersebut para pelaku Sejarah. Ubeidilah Badrun, aktivis FKSMJ mengaskan, pada waktu itu represif dari pemerintahan yang dipimpin Soeharto kian parah. Iklim akademik dikampus pun semakin dibatasi. “Beberapa orang berkumpul, pun sudah dicurigai, dan diikuti oleh intelejen,” pungkas Ubeid. Reprisifitas tersebut menyebabkan mahasiswa merasa tidak bisa lagi untuk belajar, mengeksplolrasi pengetahuan meski didalam kampus.
Untuk mensiasati hal tersebut, pun pembentukan forum – forum diskusi, baik yang di inisiasi oleh organisasi intra dan ekstra kampus berlangsung. Salah satu forum yang di inisisasi oleh organisasi kampus ialah Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Forum tersebut berisi berbagai senat mahasiswa dari kampus – kampus se – Jakarta.
Sejarah tidak sekadar kronologis. Seperti yang telah diungkapkan di awal perial latarbelakang gelaran yang diberi title “Diskusi Publik, Gerakan Mahasiswa ‘98” ini mendorong kesadaran mahasiswa soal identitasnya. Indra, Ketua Pelaksana Diskusi tersebut menegaskan bahwa, mahasiswa sudah sepatutnya tidak menjadi akademisi saja, melainkan menjadi abdi terhadap masyarakat dengan memilih jalan pergerakan.
Lembar sejarah telah mencatat, bahwa awal mula radikalisasi mahasiswa adalah lewat diskusi – diskusi, yang tidak hanya membahas persoalan pelajaran di kelas melainkan persoalan dan situasi masyarakat secara nasional, global, dan lokalitasnya. “Mahasiswa sudah sepatutnya melakukan diskusi – diskusi berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, dan isu nasional hari ini ketimbang, ngomong yang tiak jelas,” kata Agus Subhan Malma.
Kurang waktu
Karena diadakan hari Jum’at diskusi terasa sangat sebentar. Imam, mahasiswa Bahasa Indonesia UNJ mengungkapkan, bahwa isi seminar menarik, dan ketiga narasumbernya kompeten, namun waktu pembahasan sangat terbatas. Membicarakan soal gerakan ’98 tidak cukup hanya satu atau dua jam, kendati demikian pelajaran paling berharga dari diskusi tersebut ialah persoalan kesadaran, komitmen, dan pelaksanaan setiap kata yang terlontar. Hijrahnya mahasiswa dari kampus, ruang kuliah, perpustakaan ke setiap sudut ruas jalan raya tidak terjadi selayaknya pertunjukan sulap dalam sirkus, dimana sipesulap tinggal berucap “Abrakadabra” maka keluarlah kelinci dari topi sang pesulap secara tiba tiba, melainkan dengan proses panjang.
Dialektika lewat diskusi yang dilakukan oleh kawan – kawan aktivis mahasiswa diluar ruang kelas serta sentralisme kekuasaan orde baru yang semakin artikulatif, menjadi pemicu utama mahasiswa turun kejalan. Komitmen yang kuat untuk berjuang lewat jalur aksi massa termanifestasi dalam setiap insan pergerakan era 1990’an. Malma kemudian menambahkan, bahwa pada waktu itu (1998-an) kesadaran mahasiswa tentang terminologi gerakan, entah itu gerakan sosial atau gerakan moral sudah tidak lagi menjadi perdebatan.
Selain kurangnya waktu, tipikal Narasumber yang seragam membuat diskusi tidak kontroversial. Indra menguraikan, bahwa yang menjadi fokus teknis pelaksanaan diskusi ialah menjawab pertanyaan bagaimana aktivis yang ada di luar parlemen dan di dalam parlemen. Sayangnya ketiga pembicara yang diundang, sama – sama tidak ada yang masuk kedalam parlemen. Henry Bassel, salah satu pembicara dalam diskusi menceritakan bahwa selepas Pemilu 1999, ia pernah mendapat tawaran masuk ke parlemen (DPR) dari fraksi PPP, akan tetapi ia menolaknya.
Komitmen yang kuat dari gerakan ’98 di manifestasikan dalam jargon klasik “tinggalkan buku, tinggalkan kela.” Adapun idiom tersebut hari ini tinggal sekedar kata mutiara, karena angkatan 2000-an belum selesai mengukir sejarah, tentang pergerakan, dan hari depan bangsa menuju perubahan yang lebih baik. Gerakan tidak terbendung kepada episodik, kurun waktu, melainkan sebuah proses yang tidak akan selesai. Seperti sejarah, sebagaimana diungkapkan Arnold Toynbe, sejarah tidak mungkin selesai, dan akan menjadi siklus yang terus berlangsung

Categories: