Mistik itu Budaya.

Kekuasaan di Negara ini masih menjadi sebuah misteri. Jangan soal kekuasaan, kelesterian mistik merupakan identitas sejarah negaeri ini.
Negeri yang pernah menjadi jamrud khatulistiwa masa silam. Menjadi jamrud dari sebuah benua besar. Dalam hal kekayaan alam sudah jelas Negara ini menjadi sasaran utama bangsa asing ketika mengunjungi daratan asia.Alfonso de Alburqurque menemukan Indonesia melalui pelayarannya yang pertama kedunia baru di Timur jauh. Jauh sesudahnya baru datang kekejaman Deandles.
***

Keunikan Sejarah perkembangan masyarakat di Nusantara tidak mampu dijawab Karl marx dalam das capital. Ia tidak bisa menemukan puzzle tak sempurna untuk masyarakat Indonesia, sebagai seorang pemerhati masyarakat pengusung materialisme.
Ong Hok Ham lewat bukunya Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong ingin berusaha menjawab hilangnya puzzle tersebut. Dari ketergantungan masyarakat waktu masuknya kapitalisme kepada bangsawan setempat. Feodalisme berjalan berdampingan dengan Kapitalisme. Cukup unik dan hal jelas melenceng dari teori perkembangan masyarakat marx

Dalam das capital Marx menyatakan setelah datangnya kapitalisme kekuasaan priyai (feodalisme) akan digantikan dengan kekuasaan modal (Kapitalisme). Langkah strategis Belanda dalam melenggangkan kekuasaannya adalah lewat pendekatan kepada para bangsawan (Priyai). Alangkah mudahnya bangsa asing memonopoli perdagangan di Nusantara ketika telah mendapat restu dari adipati adipati. Sehingga kekuasaan modal dan kekuasaan bangsawan, raja bahkan patih berjalan beriringan menindas rakyat Bumi Putera.

Sebagaimana paparan Ong mengenai masuknya Belanda di tanah air hingga berujung pada monopoli perdagangan. Selain pelenggan kekuasaan lewat restu Priyai yang lebih menarik dari rangkaian esainya tentang refleksi historis Nusantara ialah bagaimana legitimasi kekuasaan Priyai terhadap rakyatnya. Legitimasi yang berlangsung dalam tempo yang cukup lama selanjutnya terus berlangsung hingga zaman Modern.

Legitimasi kekuasaan. Bila kita melihat dari sudut budaya masyarakat, Jawa Khususnya yang meiliki identitas nerimo dalam menjalani setiap permasalahan hidup. kemudian ritual raja-rajanya akrab dengan Takhyul yang telah resmi menjadi budaya mengakar di masyarakat. Sebut saja Nyi Roro Kidul sebagai salah satu prasyarat seorang pangeran menjadi raja.

Seterusnya adalah peristiwa perang diponegoro. Pangeran diponegoro lewat mimpinya mengaku sebagai pemilik dari tanah jawa ini. Karena kedekatannya dengan masyarakat disbanding dengan warga kerajaan membuatnya dipercaya, selanjutnya melegalkannya untuk memimpin sejumlah pasukan demi membela tanahnya untuk melawan Belanda.

Anehnya referensi mistis masih dipakai masyarakat. Terbukti dari film film lokal yang tampil di bioskop bioskop Indonesia. Dalam konteks hari ini akankah mistik menjadi jawaban atas persoalan persoalan negeri ini? Realita realita semu coba ditimbulkan lewat takhyul kemudian diteruskan dengan sikap pasrah rakyat terhadap kezaliman penguasa. Sudah cukupkah identitas kita hanya sebatas bangsa klenik?
Tuyul

Artikel nyeleneh ditulis Ong menyangkut budaya mistis dimasyarakat. Uraian yang dilatar belakangi ketika ia mengikuti sebuah seminar di daerah semarang. Seminar Tuyul, menyangkut soal tuyul adalah akrab bagi masyarakat kita. Tuyul sebuah sosok gaib, sering digambarkan di film film sosok anak kecil gaib (kasat mata). Tuyul bertugas mencuri dan memberikan hasil curiannya kepada sang majikan. Setelah mendapatkan hasil curian sang tuyul simajikan tentunya memberikan sebuah hadiah bagi tuyul.

Menurut cerita lokal biasanya hadiahnya menyusu darah atau yuyu, karena dilambangkan sebagai sesosok anak kecil yang senang bermain, selebihnya mungkin kita sudah dapat menebak sendiri apa yang diinginkan dari seorang anak kecil.
Kekuatan gaib sebagai pembawa kekayaan bagi sebagian orang yang mengambil jalan pintas sudah menjadi rahasia umum di masyarakat pedesaan saat ini. Betapa tidak seorang anak desa yang tidak mengenyam pendidikan juga tidak memiliki hubungan keturunan darah biru dalam waktu singkat naik strata sosialnya. Fitnah didasarkan atas kecemburuan sosial sebenarnya melandasi hal tersebut.

Selain masalah tuyul, dalam seminar Ong juga mendapat bahasan soal babi Ngepet. Lagi lagi landasannya adalah hal ghaib. Argument irasional yang seolah menjadi rasional. Dengan alibi kebudayaan masyarakat sekitar nampaknya logika mistis masih menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat. Dari cerita tentang tuyul pada hari ini mungkin masyarakat masih mempercayai hal tersebut. Namun demikian apakah hal tersebut masih menjadi kesalahan mereka yang percaya?

Refleksi mendalam disampaikan Ong melalui analogi sederhana terkait persoalan tuyul. Sejarawan sekaligus dosen Universitas Indonesia ini menguraikan kecemburuan masyarakat pedesaan terhadap kesuksesan mendadak tetangga atau orang orang dikampungnya selayaknya kecemburuan pribumi terhadap kesuksesan orang orang tionghoa dalam hal perekonomian. Jadi istilah memelihara tuyul dan ngepet dalam masyarakat adalah untuk lebih memarjinalkan orang orang desa yang sukses karena keuletannya.

Diskriminasi dilakukan secara halus oleh pribumi terhadap Tionghoa karena keuletannya pun tanpa sadar dilakukan oleh masyarakat desa terhadap pengusaha karena keuletannya berangsur membaik tingkat ekonominya. Inilah sebuah relita yang terjadi di masyarakat Indonesia. Gagalnya pendidikan melestarikan kebudayaan mistik yang syarat akan pembodohan, malah nantinya berakibat fatal terhadap asas kebhinekaan kita.

Sebuah refleksi perjalanan bangsa dari zaman kolonial sampai zaman seminar sudah selayaknya menjadi sebuah referensi bagi mereka yang peduli. Peduli akan nation (kebangsaan) Indonesia yang kini hanya sebatas symbol. Mungkinkah kita menemukan kembali Identitas kebangsaan seperti para founding faters kita? Sekali lagi sejarah sebagai refleksi bukan sekedar rekonstruksi.

Judul : Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong
Penulis : Ong Hok Ham
Penerbit : Kompas, 2006
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »

Yang Penting Gaya Coy,,

Ketika anda meliat sebuah tabung tersebut (Televisi), disitulah Amerikanisme Berjaya. Membuat anda lupa untuk berpikir karena lewat tabung itu tujuan hidup anda hanya menjadi kaya dan mapan seperti yang setiap hari disajikan (Noam Chomsky, Kuasa Media)

Manusia adalah inti perubahan. Waktu terus berjalan dan zaman kian berubah, perubahan demi perubahan bahkan iklim di dunia juga ikut berubah. Beberapa bulan terakhir ini situasi perairan yang buruk di tanah air mengakibatkan nelayan takut untuk berlayar mencari ikan. Padahal indonesia terletak di garis khatulistiwa seharusnya beriklim tropis. Kuasa manusia sebagai inti peubah zaman nampaknya tidak mampu merubah apa yang menjadi hukum alam, ataukah manusia sendiri yang membuat perubahan alam menjadi tidak bersahabat lagi.

Manusia dengan budaya dan peradabannya juga selalu berubah. Tergambar jelas dari tayangan di media elektronik tentang ganasnya serangan Amerika terhadap palestine awal tahun 2009. Kekerasan yang menyebabkan meninggalnya gubernur sumatra Utara dalam aksi pemekaran wilayah di Indonesia, juga menggambarkan kuatnya budaya kekerasaan, dan keterasingan rakyat Indonesia terhadap kebudayaan asli bangsanya. Kebudayaan bangsa yang cinta damai sudah mulai begeser. Chomsky mengungkapkan dalam kuasa media, media merupakan propaganda terhadap berbagai isu, dari satu peristiwa dapat menutupi peristiwa lainnya. Membuat masyarakat lupa akan permasahan yang lebih mendasar.

Selanjutnya anak anak bangsa Indonesia semakin terasing dengan budaya asalnya. Mereka lebih melihat budaya modern (pop) sebagai kiblat ketimbang budaya asli. misalnya Bahasa Indonesia yang dicetuskan sebagai bahasa persatuan sudah mulai tenggelam dengan istilah istilah asing dan bahasa campur sari yang digunakan sehari hari. Lalu bagaimana dengan bahasa daerah masing masing? Bila bahasa persatuan saja sudah mulai dilupakan akankah adat dan nilai nilai tradisi juga akan ikut hilang yang pada akhirnya membuat masyarakat melupakan identitas bangsa yang majemuk dan memiliki sebuah integritas yang dari 1944 dicetuskan founding fathersnya.

Idealnya kasus kasus seperti di sampit, kalimantan tidak perlu terjadi. Tawuran antar pelajar dan antar desa pun juga tidak perlu terjadi. Apakah berbagai konflik beradasarkan SARA (Suku Agama dan Ras) adalah bukti keterasingan kita sebagai rakyat Indonesia. Seandainya anak anak bangsa ini masih memegang pancasila serta pendidikan, peopngenalan terhadap kebudayaan juga nilai nilainya melekat dalam diri setiap generasi baru.

Pertumbuhan pusat pusat perbelanjaan besar dengan berbagai kafe didalmnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi kepala daerah, lebih lebih dipinggir kota. Pusat perbelanjaanpun dijadikan kiblat baru generasi muda dalam bergaul. Bila pada tahun 1945 pemuda sibuk merumuskan kemerdekaan Indonesia. Hari ini sibuk menonton gosip terbaru atau acara reality show. Berkembangnya kebiasaan kebiasaan baru di masyarakat khususnya kaum terpelajar, kian menjadikan keterasingan bangsa dari budayanya sendiri. Budaya yang ditransformasikan lewat pendidikan kini tergerus dengan transformasi budaya lewat televisi serta berbagai media lainnya.

Identitas bangsa pun mulai tercabik. Bangsa yang dahulu dikenal memiliki sikap berani, berani menentang kolonialisme, berani berdaulat penuh, menjadi bangsa pengecut. Terbukti dari ketidak berdayaan kita mengendalikan sumberdaya alam kita tanpa bantuan infestor asing. Refleksi historis sebagai anak bangsa menjadi suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Kita cenderung untuk merumuskan metode metode jitu agar mampu bersaing dalam persaingan bebas tenaga kerja. Selanjutnya model model kebijakan dalam pendidikan dibuat sedemikian rupa untuk melanggengkan hal tersebut.

Masyarakat konsumtif

Masyarakat konsumtif tercipta ditengah ketidak berdayaan bangsa atas serbuah informasi yang mengalir lewat berbagagai media. Pendidikan sebagai salah satu benteng terakhir pembendung arus globalisasi perlahan mualai dirobohkan. Perangkat pendidikan dari mulai menengah, lanjutan, sampai tinggi sudah menjdai lahan investasi yang dilegalkan pemerintah lewat UU BHP.

Karakter pragmatis dan oportunis dilihat sebagai sebuah kewajaran dengan alasan pasar bebas tenaga kerja. Universitas sebagai salah satu institusi pendidikan merasa nyaman akan sikap mencari keuntungan lewat mahasiswanya. Mereka tidak lagi peduli sebab yang terlintas hanya sirkulasi dana, dan berapa quota mahasiswa baru yang dapat diserap kedalam.

Budaya kritis dan transformatif kian surut, mati suri, dalam Universitas. Selanjutnya yang timbul adalah manusia manusia yang mengaktualisasikan diri dengan gaya rambut, pakaian, bahkan makanan dengan trend yang dibuat negara negara produksi. Pembagian masyarakat menjadi 80 : 20 yang dibahas dalam Forum Fairmouth tahun 1995 yang diketuai Michael Gorbacev menarik untuk dibahas. 80:20 maksudnya adalah 80% pendudukan sebagai konsumen dari 20% masyarakat yang berhasil menciptakan proses kreatifitas dan berproduksi.

Kehadiran pasar bebas memungkinkan hal tersebut terjadi. Uraian Gorbacev jelas terlihat dalam masyarakat, khususnya di Indonesia. Kelompok terpelajar (mahasiswa) cenderung merasa eksis ketika dirinya mengikuti trend (fashion) terkini. Daripada berpikir tentang suatu permasalahan. Keterasingan seseorang yang berpikir mendasar tentang masa depan serta permasahan sosial secara mendalam sudah pasti terjadi. Eksistensi manusia adalah untuk menjadi, seperti uraian Ane Lie bahwa manusi itu bukan hanya mengada (being) tapi juga menjadi (becoming). Manusia seperti itu sudah langka di Indonesia. Bahkan dianggap menyimpang dalam peradaban (gila).

Menilik arus besar budaya yang berjalan hanya satu arah yaitu, dari negara maju kenegara berkembang yang selanjutnya menghegemoni negara tersebut. Hegemoni yang dilakukan lewat budaya sedemikian halusnya sampai rakyat tidak sadar akan usaha penjajahan dalam tempo waktu yang lama sedang dirancang. Kelebihan produksi menyebabkan mereka (negara produksi) menghalalkan penjajahan baru tersebut. Menjadikan budaya sebagai alat.

Lewat dalih globalisasi produk produk mereka mengalir dengan derasnya. Masyarakat pun menjadi terbiasa dengan produk pruduk luar negeri. Mulai dari sandang, pangan, papan. Seandainya hal tersebut terus terjadi lalu apa bangsa ini akan terus dijajah? Dijajah lewat kebudayaan, ekonomi, politik. Kemerdekaan secara de facto dan de jure yang telah tercatat dalam sejarah perlu dipertanyakan lagi. Mungkinkah kita merdeka dari segala bentuk penjajahan? Hendaknya merdeka 100% bisa terwujud melalui anak anak zaman yang sadar dan mengenal Indonesia, dari Nusantara, Hindia Belanda, sampai Bhineka Tunggal Ika, bukan hanya anak zaman mengusung tema yang penting gaya coy..
[ Read More ]

Posted by harrismalikusmustajab 0 »