Mendobrak Tabu

Paradigma baru tentang pengetahuan sex menjadi dilema bagi penentu kebijakan dan praktisi (Saurteigh & Davidson – Shaping Sexual Knowledge)
Siapa pernah mengira bahwa di Eropa ternyata pengetahuan sex pernah menjadi sesuatu yang tabu? Benua yang pada hari ini menjadi pusat berkembangnya liberalisme, dan pelopor keterbukaan informasi. Proses. Pengetahuan mengenai sex menjadi perbincangan yang di tabukan pada awal abad ke 20. Sex dianggap sebgai sesuatu yang sakral untuk diperbincangkan. Sex ternyata tidak sekadar urusan kelamin, manusia melainkan urusan seputar kedewasaan dan erat kaitannya dengan psikology. Adalah Michael Focoult seorang Filsuf cum penulis, membuat sebuah penelitian sekitar tahun 1970an yang berhasil menjawab bahwa pengetahuan sex tidak hanya sekedar urusan biologis (jasmani) melainkan sebuah kultur, budaya, yang membentuk pengetahuan.
Sex juga berkaitan erat dengan kelas sosial, gender, ras, juga pengobatan. Karena sex ternyata berkaitan dengan banyak hal maka tidak mustahil, jikalau ada sebuah buku yang membicarakan soal sex sebagai sejarah kebudayaan. Saurteigh dan Roger Davidson, coba mengurai permasalahan tersebut.
Dimulai dengan penjelasana soal masa kanak – kanak. Pengetahuan masyarakat tentang sexualitas dalam masa kanak kanak mengalami peruabahan signifikan, dimualai dari era Philip Ariies tahun 1960. Pada awalnya anak anak dianggap tidak boleh memiliki pemikiran, dan hasrat sexual. Hubungan antara masa kanak – kanak dan orang dewasa amat menjadi menarik untuk dibahas, tidak terlepas dari urusan sensualitas dan pengetahuan sex yang mengalami perdebatan. Sebuah keniscayaan bahwa ada banyak nilai dan norma, yang harus di tembus, untuk dapat meneliti tentang seksualitas. Kendati demikian hal tersebut tidak menjadikan banyak peneliti, di Amerika pada tahun tersebut patah arang.
Sebelum Philip Ariies bukan orang yang pertama, sejak abad ke- 18 Rosseau, sudah melakukan pembelaan terhadapa pembatasan pengetahuan sex kepada anak – anak. Sementara itu gereja, dan para psikiater memiliki konsentrasi perhatian terhadap bahaya mastrubasi yang dilakukan anak. Kemudian pada abad ke 19, ketakutan tersebut menyusut diiringi dengan kepercayaan masyarakat bahwa anak – anak tidak bersalah, dalam hal sexual. Keyakinan akan innocent pada anak – anak ini kemudian diperkuat dengan regulasi dan undang undang yang dibuat oleh beberapa negara, dan negara bagian, misalnya di Inggris, Jerman, dan Austria.
Sigmun Freud kemudian pada tahun 1905 lewat esainya “Three Essays on The Theory of Sexuality” mmemaparkan bahwa pengetahuan sex, dan keinginan akan sensualitas sudah melekat pada anak, ketika ia baru dilahirkan. Dengan detil Freud menguraikan dalam esaynya bahwa hasrat sexual muncul pada anak – anak saat mereka (anak) menghisap air susu, dari ibunya, memunculkan alat kemaluannya kepada orang lain. Perilaku demikian dapat ditemui pada anak anak normal (masih usia bayi). Pemikiran Freud sesungguhnya merupakan bagian dari diskusi kontemporer, pada tahun 1900an, diawali dengan publikasi sebuah buku hasil study magister Havelock Ellis dan Albert Moll, ‘The Sexual Live of The Child’. Buku tersebut menjelaskan bahwa konsep seksualitas anak dipengaruhi oleh ideologi pengajar pengetahuan sex, yang berkembang disekitar eropa. Riset mengenai pengetahuan sex anak kemudian berlanjut di Eropa dengan melibatkan banyak ahli. Sexologi, psikolog, pakar pendidikan, dan banyak peneliti lainnya.
Penelitian tersebut terus dilakukan untuk menjawab pertanyaan seputar pengetahuan sex, dan hasrat sexual pada anak, apakah merupakan semacam penyakit, atau hal yang wajar sesuai fase pertumbuhan. Gereja dan pihak konservatif tetap menggencarkan kampanye mengenai bahaya, dan pembatasan pengetahuan sex pada anak. Setelah penelitian panjang, pada paruh abad ke duapuluh, Alexander Neil berhasil menjawab pergulatan, antara boleh tidaknya anak mendapatkan, memiliki pengetahuan sexual. Neil menjelaskan bahwa anak – anak dapat dengan bebas berjalan telanjang bulat, untuk mengeksplorasi dan mengetahui hasrat dan pengetahuan sex seputar dirinya. Pada penelitian selanjutnya banyak ahli dan gereja sepakat, bahwa hasil penelitian terkait dengan pengetahuan sex, selanjutnya akan digunakan oleh para orang tua, untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat menjelaskan tentang pengetahuan sex yang dibutuhkan anaknya. Seperti pertanyaan yang umumnya muncul pada anak – anak : “bagaimana mereka dapat terlahir di dunia?”.
Konflik atas pendidikan seks bukan pertempuran antara ideologi politik Sebaliknya, itu adalah perjuangan antara dua wacana yang berbeda, dua pandangan yang berbeda terhadap kemanusiaan, masyarakat dan seksualitas: satu sekuler dan satu bersifat realigi.
Tiga aspek perdebatan yang akan disorot
Pertama, mengubah persepsi tentang seksualitas, dan seberapa jauh para aktor terkemuka di perdebatan seksualitas dipandang sebagai sebuah fenomena biologis, sosial atau psikologis dan seberapa jauh ia dianggap sebagai masalah etis,
Kedua, seberapa jauh pengetahuan seksual dianggap sebagai pemenuhan profilaksis atau bahkan membebaskan peran bukan sebagai pengaruh yang mengganggu atau bahkan merusak,
Ketiga, sejauh mana pengetahuan seksual tentang gender dalam penggambaran atas masalah seksual.
Masalah pendidikan seks pertama kali diperkenalkan oleh Karolina Widerström (1856-1949), dokter wanita Swedia pertama dan dokter kandungan, seorang anggota pembebasan gerakan perempuan. Widerström melihat masalah tentang pendidikan seks dalam aspek bilogis. Akan tetapi Pendidikan seks yang ditawarkan di Swedia pada awal abad kedua puluh sangat terbatas. Menurut Widerström dan Komisi Penduduk menyatakan bahwa pendidikan seks harus tercantum dalam kurikulum biologi.
Pengenalan pendidikan seks di semua sekolah Swedia dimulai dengan pelatihan guru di perguruan tinggi dan universitas yang merupakan agenda utama
Asosiasi Pendidikan Seks Swedia (RFSU).
RFSU yang ingin membangun pandangan modern, ilmiah dan sekuler
tentang seksualitas. Ia percaya bahwa pendidikan seks sekolah akan mempersiapkan kaum muda untuk masa depan. RFSU juga menekankan pentingnya pendidikan seks untuk anak muda guna pengembangan pribadi. Tujuan informasi seksual dianggap mendasaruntuk kompetensi individu kesejahteraan dan social. Pandagan RFSU mendapat ancaman dari Gereja di Swedia. Masalah-masalah pendidikan sex dibatasi oleh nilai-nilai agama Katolik.
Aspek sejarah kebudayaan
Sejarah Polandia pada abad XIX di dominasi oleh tiga kekuatan, Prussia, Austria dan Rusia. Sesungguhnya ketika Austria (Galicia) mulai melaksanakan kontrolnya atas Polandia, orang-orang Polandia dapat menikmati otonominya baik dalam bidang budaya maupun ekonomi. Namun perkembangan nasionalisme Rusia mengakibatkan sistem pendidikan menjadi begitu diskriminatif bagi orang Polandia. Hasilnya, perkembangan pemikiran-pemikiran dan perdebatan mengenai pendidikan, termasuk pendidikan seks begitu tersembunyi dan ilegal yang terbatas dalam diskusi dan perdebatan kelompok ilmuan yang disampaikan dalam media cetak.
Banyak perdebatan-perdebatan ini akhirnya tidak hanya menjadi sebuah masalah dalam lingkup masyarakat yang sempit, tetapi juga berkaitan erat dengan kondisi sosial dan politik di Polandia. Yang dibicarakan dalam permasalahan pendidikan seks disini ialah tentang waktu, konten dan cara penyampaian serta tentang pengalaman-pengalaman individu dari orangtua dan anak itu sendiri mengenai pendidikan seks. Sejak meletusnya revolusi 1905 dalam parlemen Polandia, diskusi mengenai masalah pendidikan seks bagi anak-anak dan dewasa menjadi semakin terbuka. Kaum feminis yang dipengaruhi oleh liberalisme Inggris mulai memperjuangkan pendidikan seks masuk ke dalam kurikulum di sekolah. Meski gagasan ini didukung oleh para ilmuwan dan dokter, namun pihak gereja (Katolik Roma) menolak ide ini sebagai suatu pengingkaran atas eksistensi Tuhan.
Selain itu perdebatan juga berlanjut pada waktu, isi dan cara penyampaian mengenai pendidikan seks. Dalam hal ini tiga orang memiliki peranan penting dalam menyampaikan pengetahuan pada anak-anak, yaitu ibu, guru biologi dan dokter dengan waktu dan apa saja pengetahuan yang tepat diberikan. Seorang feminis penting, Iza Moszczenska, menyarankan proses penjelasan mengenai fact of life seharusnya dijelaskan sangat awal dari rumah. Ia berpendapat bahwa dalam suasana yang rileks dan hangat anak-anak terlebih dulu dijelaskan tentang kehidupan tanaman (perkembangbiakan), lalu kemudian pada binatang dan kemudian manusia yang dijelaskan secara natural tetapi tidak vulgar. Iza juga menyarankan pengarahan informasi tentang pubertas wanita (menstruasi) dan anatomi tubuh manusia.
Pendidikan seks ini juga berhubungan dengan moral dan etika, perlakuan terhadap wanita, perilaku seks sebelum dan sesudah nikah serta prostitusi. Dalam perdebatan ini, Pastor berada dalam posisi kontra. Mereka meyakini bahwa tidak diperbolehkan ada informasi dasar mengenai fact of life yang harus diberikan pada anak dibawah usia 7 tahun. Perdebatan antara kelompok pendidik liberal dengan pendeta-pendeta konservatif tak pernah dianggap selesai, satu sisi menganggap bahwa seks edukasi bukanlah hal yang harus dirahasiakan karena berkaitan dengan pendidikan moral, di satu sisi kaum konservatif menolak pembicaraan-pembicaraan yang dapat menimbulkan rangsangan dan keingintahuan mengenai seks bagi anak-anak.
Gelombang kedua perdebatan mengenai pendidikan seks dimuali pada 1920-an dalam iklim perpolitikan yang sangat jauh berbeda. Sejak Polandia memproklamirkan negaranya pada 1918, pemerintah beruapaya mengakomodir hak-hak rakyatnya dalam segala bentuk. Pada masa ini, para intelektual tidak hanya memberikan opini tetapi mulai mempengaruhi kebijakan pendidikan negara dan berkutat pada isu sentral mengenai perlu atau tidaknya memasukan pendidikan seks dalam kurrikulum sekolah serta apa saja yang penting diinformasikan pada anak-anak.
Pengetahuan sex, khususnya yang berkembang di eropa, kemudian mengalami perubahan. Pengetahuan sex, dan aktifitas sexual seperti ciuman, dan berpelukan menjadi semakin diakui di eropa sebagai pengetahuan yang ambivalen. Ambivalensi tersebut berarti baik sekaligus buruk. Menurut sejarah pengetahuan sex yang diperjuangkan para ahli hingga paruh pertama abad ke- 20 bertujuan untuk mengembangkan kesehatan, dan pengetahuan, bukan untuk menjadikan anak tidak bermoral dan melupakan nilai dan norma. Semangat liberalisme, di Eropa kemudian mulai mengakar dan menjadikan hampir sebagian besar anak muda, bebas mengeskplorasi hasrat mereka. Pendulum sejarah pengetahuan sex kemudian mengarah pada perbincangan di kalangan para ahli seputar penyimpangan sexual.
Seiring berkembangnya pembangunan, dan liberalisasi di Inggris sekitar tahun 1980an identitas dan perlindungan terhadap hak sexual anak mulai diterapkan. Anak – anak, yaitu mulai dari usia 1 – 21 tahun harus terbebas dari aktifitas sexual. Sex hanya diperuntukan untuk orang dewasa. Pembentukan pengetahuan sex kemudian diperjuangkan menjadi identitas dan hak sexual bagi anak. Kasus Phedopilia, dan penyimpangan sex lainnya muncul di Eropa untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan di Eropa kemudian menganggap item paling penting dalam mencari makna, berubahnya pengetahuan sex ada pada bentuk penyebarluasan pengetahuan sex tersebut.
Pengetahuan sex, hingga akhir abad ke- 20 mengalami kemajuan yang pesat di Eropa, terlepas dari banyaknya kecaman dari kaum konservatif, yang membatasi pengetahuan sex pada anak. Di Jerman, tapatnya Jerman timur, pendidikan sex mulai diajarkan sejak anak duduk di bangku taman kanak – kanak. Pengetahuan sex tersebut diajarkan lewat Film, dan beberapa buku referensi. Pada tahun 1980an literature tentang pendidikan sex, dan film tentang pendidikan sex tersedia di banyak tempat di Eropa. Kemenangan kaum liberal, menjadikan penddidikan sex, dan pengetahuan seputar sex tidak lagi menjadi tabu. Salah satu film yang terkenal di eropa yang menjadi film pertama tentang pendidikan sex ialah ‘Helga’ film tersebut tidak bisa dikatakan melanggar nilai, karena digunakan sensor pada film tersebut. penggunaan sensor kemudian dilanjutkan untuk gambar – gambar yang berisi keterangan seputar sexual. Hal tersebut menjadikan referensi tentang pendidikan sex tidak lagi tabu, bahkan dapat diakses oleh semua kalangan.
Pengetahuan sex dan komoditas sexual
Berawal dari tujuan pendidikan selanjutnya sex bergerak kearah yang lebih jauh. Tidak dapat dipungkiri, negara di Eropa dan Amerika terutama, saat ini telah menjadi pelopor industri sex. Mulai dari vivid enterprise, Playboy, Penthouse, dan banyak lagi. Kemunculan industri porno, porn industri tidak terlepas dari pasar di Eropa. Bagai dua mata uang yang saling berkait. Kebabesan untuk mengakses informasi, disertai dengan konsekuensinya. Industri Porno lahir dari hasrat seksual. Pasalnya tidak seperti buku yang ditulis Saurteigh, yang berkisah tentang pendidikan sex, soal pengetahuan sexual dan bahaya sex ini, ada sebuah buku yang diterbitkan oleh Jasakom ‘The World of Porn’ mengurai kisah seputar sejarah eksploitasi seksual, dan kenapa industri sex itu terbentuk.
Helga ialah film pertama soal sex di Eropa. Kendati demikian jutaan judul film Porno, yang diproduksi sampai abad ke- 21 ini. Produksi film tersebut, tidak dapat dipungkiri juga merambah ketanah air, dan di konsumsi oleh sebagian besar generasi muda. Pembahasan soal video sex, di Indonesia hari ini agaknya terkesan mundur. Bila di Amerika dan di Eropa seperti yang di ungkapkan Saurteigh, pendidikan sex dapat mengeliminir, penyimpangan dan penyakit yang ditimbulkan akibat sex bebas. Di Indonesia tentang sex masih dianggap tabu, dan ditutup rapat. Tidak tanggung tanggung pelaku adegan mesum akan dikenai hukuman pidana. Kasus Nazriel Ilham (Ariel) menjadi pelajaran penting. Terlepas dari keberpihakan terhadap liberalisasi, dan eksploitasi seksual, ketika ada sebuah permasalahan, kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah malah menambah masalah.
Selayaknya buku yang di tulis oleh Saurteigh ini bisa menjadi referensi bagi banyak pihak mengenai pengetahuan sex. Outputnya tidak sekadar video mesum, dan untuk kesenangan belaka. Melainkan dari buku ini kita dapat mengetahui perubahan kultur, Budaya masyarakat di Eropa, kemudian mengkkaji perubahan budaya di Indonesia. Sex dan pengetahuan seputarnya laiknya tidak di tabukan, melainkan di jadikan sebuah item yang dianggap penting untuk diberikan, karena menyangkut perkkembangan psikologi anak dan peserta didik pada umumnya.
Pengetahuan sex yang ditutup rapat kemudian akan menimbulkan permasalahan berupa berkembangnya pesatnya rumah produksi pornografi, yang nantinya akan menimbulkan dehumanisasi terhadap masyarakat. Sedang pendidikan sex yang baik adalah pendidikan mengenai sex yang sesuai dengan psikologi anak, dan seharusnya diberikan oleh orang tua.

Categories: