Perang Perdamaian dan Pemberontakan

Pasca Revolusi fisik 1945 Indonesia tak lebih layaknya seorang anak manusia yang baru di “lemparkan” ke bumi, dia menangis sendirian ditengah orang tua dan kerabat yang tersenyum bahagia menyambutnya. Pun Indonesia, pada saat itu menangis keras di tengah rakyat yang bergembira menyambut sebuah bangsa yang baru lahir dengan kemerdekaan yang di bawanya.
Kemerdekaan adalah hak setiap orang sejak lahir, tetapi terkadang kemerdekaan itu harus di rebut untuk mencapainya, begitulah petuah tua memberikan pandangannya tentang kemerdekaan. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia harus bergelut dengan sekian masalah baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri sendiri, sekian urusan administratif pemerintahan harus secepatnya diselesaikan, perangkat-perangkat negara seperti militer bahkan pendidikan sekalipun harus di rasionalisasi ulang dari militer (PETA, Shodanco dll) sebagi perangkat pemerintahan fasis Jepang menjadi perangkat-perangkat kekuatan pertahanan Indonesia.
Gagasan untuk mewarnai kehidupan politik pasca kemerdekaan dengan sudut pandang partai politik perlu di renungi kembali. Penulis coba menyelami masa lalu dalam perspektif masa lalu, dalam arti apa yang di gagas pada masa lalu tidak bisa di justifikasi oleh hari ini. Walaupun ide partai politik pada saat itu di dorong oleh semangat demokratisasi.
Oleh karena itu penulis melihat akar masalah dari hitam-putih sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dengan berdirinya banyak partai seperti “jamur di musim hujan” di tengah-tengah situasi yang tidak stabil memungkinkan terpecahnya kekuatan Nasional. Bermacam-macam partai dari berbagai golongan, berbagai ideologi/pandangan, berbagai cita-cita dan berbagai kepentingan akan sangat sulit di kendalikan untuk menghadapi musuh bersama-sama.
Terbukti ketika puluhan kapal perang asing yang berjangkar di perairan laut Jawa di awal November 1945 di sikapi berbeda-beda oleh tiap-tiap golongan dan para pemimpin perjuangan. Kemenangan di hari pertama yang diraih para pemuda Surabaya dalam pertempuran melawan tentara Inggris tidak dapat dipertahankan sampai hari kedua karena Presiden Soekarno menginstruksikan kepada Rakyat dan Pemuda Surabaya untuk menghentikan pertempuran. Akhirnya ribuan warga Surabaya terbunuh sia-sia di ujung senapan tentara Inggris. Contoh lainnya adalah ketika Presiden menginstruksikan tidak melakukan perlawanan, daerah-daerah menyikapinya berbeda-beda, beberapa daerah mematuhi instruksi tersebut tetapi banyak daerah juga yang tidak mengindahkan instruksi tersebut dengan tetap melakukan perlawanan mempertahankan kemerdekaan seperti yang terjadi di Magelang.1
Semua ini adalah ujian untuk “si anak jabang” yang baru lahir. Kemenangan sekutu dalam Perang Dunia II mendorong Negara-Negara anggotanya membuat peta kekuatan Dunia baru, baik secara politik, ekonomi maupun militer. Sekian agresi yang dilakukan oleh para “penjual roti” yang negerinya setiap tahun selalu terendam oleh air laut yang pasang baik dengan usaha sendiri ataupun memboceng tetangga sebelahnya adalah bukti bahwa Belanda masih sangat berhasrat untuk menyalurkan “Hobinya” bermain sepak-tindas.
Pasalnya, semangat revolusioner para Pemuda tidak hanya muncul di Magelang. Tepatnya pada bulan Oktober sampai Desember 1945, banyak daerah daerah yang juga memberontak. Bukan pada kekuasaan pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah. Di Pemalang, Tegal, dan Berebes para pemuda mengkooptasi wakil dari pemerintah Jepang –pejabat di karesidenan setempat dengan mengambil alih kekuasaan dengan paksa.2
Sekeluarnya Proklamasi 1945 memang banyak rakyat dan Organisasi di luar pulau jawa pada khususnya yang tidak mengetahui perihal peristiwa tersebut. “Hal – hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain, diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang se-singkat singkatnya. Kurang lebih seperti itulah bunyi teks proklamasi. Untuk itulah sepatutnya hal yang harus dilakukan ialah memberitakan tentang persoalan kemerdekaan. Pasalnya pekerjaan yang dahulu dilakukan ialah merasionalisasikan pembentukan angkatan bersenjata yang terpecah – pecah, beserta partai politik. Hal ini tentu saja membuat kebingungan tersendiri bagi sekian banyak organisasi organisasi “bawah tanah” yang berada di daerah.
Pun demikian berita proklamasi yang baru sampai di Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus di sambut gembira oleh Hamengkubuwono, lewat pidatonya.3 Pada awalnya pemuda dan organisasi yang kebingungan sontak menjadi riang gembira, persoalan selanjutnya ialah soal tentara keamanan.
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai payung dari perbagai satuan keamanan pasca perang melawan Jepang menjadi alternatif. Anggota BKR ialah bekas tentara PETA dan HEIHO, BKR kemudian berkembang, seiring masuknya pelbagai laskar rakyat kedalamnya. Pada akhirnya BKR terbagi kedalam wilayah teritorial, BKR laut, udara, dan darat. Untuk itulah BKR menjadi sebuah alat pertahanan penting prasyarat berdirinya sebuah negara –menunjukan kedaulatan negara terhadap teritorialnya.
Pada awal tahun 1946 tentara sekutu kembali mendaratkan serdadunya kewilayah Indonesia. Dengan alasan ingin melucuti tentara Jepang. Serikat mendaratkan serdadunya, dan Belanda datang lagi yang mengaku dirinya sebagai wakil dari pemerintahan Hindia Belanda. Belanda (NICA) telah dapat menguasai di beberapa tempat, dan menguasai lautan dengan mendatangkan serdadu dan kapal – kapalnya dan mengasingkan saudara – saudara kita, kita diserang.4 Laiknya bayi yang baru berjalan, Indonesia berjalan dengan tertatih, dengan rintangan yang tidak tanggung tanggung berupa datangnya kembali sekutu seusai perang pasifik. Perang pasifik berakhir usai menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada sekutu.
Walau dengan angkatan bersenjata yang baru berdiri, Indonesia tetap berdiri tegak. Dibawah dentuman meriam Belanda dan sekutu yang kian hebat, sampai sampai Jakarta harus tunduk padanya. Praktis Ibu kota di pindahkan ke Yogyakarta. Keadaan politik di pemerintahan semakin terpuruk, pasalnya dukungan baik berupa pasukan dan dana dari sekutu mengalir untuk kemudian berpihak pada Belanda. Belanda tidak datang dengan gagah perkasa, sebagai belanda. Melainkan datang sebagai tentara sekutu dibelakang Inggris.
Perang melawan sekutu
Ketika Perang pasifik masih berlangsung, sekutu membagi Indonesia menjadi dua daerah operasi. Sumatera dimasukan ke dalam daerah operasi South East Asia Command ( SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Moubattan, sedangkan Jawa dan Indonesia bagian timur ke dalam daerah operasi South West Pacific Command ( SWPC) di bawah komando Jenderal Mac-Arthur. Daerah operasi ini berubah setelah perang dunia II di Eropa berakhir dengan menyerahnya Jerman bulan mei 1945. Dalam konferensi sekutu di Potsdam bulan juli, seluruh wilayah Indonesia dijadikan daerah operasi SEAC, sebab MacArthur ingin mengerahkan seluruh kekuatan pasukannya untuk langsung menyerbu kepulauan Jepang.
Daerah yang menjadi tanggung jawab SEAC meliputi pula Burma ( Myanmar), Thailand, Indo-Cina, dan semenanjung tanah melayu. Untuk Indonesia dibentuk komando khusus, yakni Allied Forces Netherlands East Indies ( AFNEI) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philips Christison. Pada tanggal 29 September 1945 pasukan sekutu pertama mendarat d Jakarta. Pasukan sekutu yang tergabung dalam AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan pendudukan daerah Indonesia lainnya diserahkan kepada pasukan Australia. Adapun tugas AFNEI adalah :
Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran sekutu.
Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.
Menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang.
Awalnya kedatangan sekutu disambut dengan sikap terbuka dan netral oleh pihak Indonesian. Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan sekutu datang membawa orang – orang NICA yang hendak menegakan kembali kekuasaan kolonial hindia Belanda, sikap pihak Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi bertambah parah setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru di bebaskan dari tahanan Jepang. Kekesalan Indonesia tidak hanya karena faktor adanya pasukan NICA tetapi karena pasukan sekutu mengingkari janjinya yang hanya akan mengurusi para tawanan Jepang, dan tidak akan mengurusi pemerintahan Indonesia, tetapi pada kenyataannya sekutu berusaha ikut campur dalam negara Indonesia, yang pada selanjutnya akan sering terjadi pertempuran antara pasukan Republik dengan pasukan sekutu. Kejadian – kejadian ini didasari oleh sikap pasukan – pasukan sekutu yang di daerah tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.
Pihak Indonesia menilai bahwa sekutu melindungi kepentingan Belanda. Oleh karena itu kehadiran mereka banyak ditentang di daerah – daerah. Dibawah ini akan diceritakan sedikit gambaran tentang pertempuran yang melibatkan pasukan sekutu dengan pasukan Republik di daerah.
Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan sehingga berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif.
Pada tanggal 25 oktober 1945, brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Kedatangan mereka diterima secara enggan oleh pemerintah Jawa Timur yang dimpin oleh Gubernur R.M.T.A.Surjo. sikap ini di dasari oleh perbuatan sekutu yang menyerbu penjara Republik untuk membebaskan perwira – perwira sekutu dan pegawai RAPWI ( Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang ditawan Republik.
Pada tanggal 28 Oktober, pos – pos sekutu di seluruh kota Surabaya diserang oleh rakyat Indonesia. Dalam peristiwa ini Brigadir Mallaby tewas tertembak. Hanya dalam waktu sehari Brigade Mallaby nyaris binasa, seandainya pemimpin – pemimpin Indonesia tidak segera memerintahkan penghentian tembak – menembak.
Dengan terbunuhnya Brigadir Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban. Pada tanggal 31 Oktober 1945 Jenderal Christison, Panglima AFNEI memperingatkan kepada rakyat Surabaya agar mereka menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurleburkan. Sesudah kematian Mallaby pihak Inggris mendatangkan pasukan baru dibawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Manseregh. Kemudian pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal Manseregh memberikan Ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isi dari ultimatum ini adalah tuntutan agar semua pimpinan dan orang – orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakan tangan diatas kepala, dan kemudian menandatangani dokumen yang disediakan sebagai tanda menyerah tanpa syarat. Batas waktu ultimatum ini adalah jam 06.00 tanggal 10 november 1945. Ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Surabaya,hal ini didasari oleh karena isi ultimatum itu merendahkan martabat dan harga diri bangsa Indonesia.
Pada saat batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin eksplosif.salah satu pejuang Surabaya yaitu Soetomo ( bung Tomo) menggelorakan semangat para masyarakat Surabaya untuk tetap berjuang dan tidak takut dengan sekutu. Kontak senjata pertama terjadi di perak, yang berlangsung sampai pukul 18.00. gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman ke basis pertahanan masyarakat Surabaya. Dalam pertempuran yang tidak seimbang yang berjalan selama samapai awal bulan Desembar itu telah gugur banyak pejuang. Untuk memperingati kepahlawanan serta kegigihan masyarakat Surabaya yang mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai hari pahlawan.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran di Ambarawa ini terjadi pada tanggal 20 November dan berakhir pada 15 Desember 1945. Ambarawa adalah kota yang terletak antara Semarang – Magelang dan Semarang – Solo. Latar belakang perisriwa ini diawali mendaratnya Brigade artileri dari divisi India ke-23 yang mendarat d Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Brigadir Bethell, yang oleh pihak RI diperkenankan untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang dan evakuasi 19.000 interniran sekutu yang berada di kamp banyu biru Ambarawa dan Magelang. Akan tetapi ternyata pasukan sekutu ini telah diboncengi oleh tentara NICA, yang kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang, yang berlanjut menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Inggris. Insiden ini berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Bethell melakukan perundingan gencatan senjata pada tanggal 2 November 1945, yang sebagian isinya:
Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di magelang, untuk me. lakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlahnya dibatasi hanya untuk keperluan melaksanakan tugasnya.
Inggris tidak akan mengakui aktifitas NICA dalam badan – badan yang berada di bawah kekuasaanya.
Tapi ternyata pihak Inggris ingkar janji. Kesempatan dan kelemahan dari pasal – pasal persetujuan itu dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah serdadunya yang berada di Magelang.
Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Inggris. Karena kekurangan armada, pada tanggal 21 November 1945, pasukan Inggris yang berada d Magelang dikirim ke Ambarawa. Pada tanggal 22 November 1945,pasukan Inggris membombardir kampung – kampung di sekitar Ambarawa, sehingga pasukan TKR hanya bisa bertahan d sebuah lahan perkuburan Belanda untuk menahan serangan pasukan sekutu. Akan tetapi kekuatan tentara TKR bertambah dengan datangnya bala bantuan tiga batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 divisi X dibawah pimpinan Mayor Soeharto, baralion 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono dan batalion Sugeng sehingga kedudukan musuh menjadi terkepung.
Sekalipun telah dikepung, pasukan sekutu masih mencoba mematahkan kepungan itu. Mereka menggunakan tank – tanknya untuk menyerang kedudukan TKR dari belakang pertahanan, sehingga kedudukan TKR menjadi terancam.
Adapun kekuatan pasukan yang ikut bertempur di Ambarawa ini berjumlah 19 batalion TKR dan beberapa batalion badan – badan perjuangan yang bertempur secara berganti – ganti. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan yang berasal dari purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur. Setelah Isdiman gugur, Kolonel Soedirman, pangliman divisi di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran berubah menjadi semakin menguntungkan pasukan TKR. Musuh terusir dari desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan pada tanggal 5 Desember 1945.
Kolonel Soedirman mengumpulkan para komandan sektor untuk melaporkan situasi disetiap sektor. Kemudian Kolonel Soedirman membuat rencana untuk melakukan pukulan terakhir. Rencana tersebut adalah :
Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua sektor.
Tiap – tiap komandan sektor memimpin serangan.
Pasukan – pasukan badan – badan perjuangan ( laskar) disiapkan sebagai tenaga cadangan.
Serangan akan dilakukan pada tanggal 12 Desember pada pukul 04.30 pagi.
Pada serangan tersebut kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pasukan Inggris yang merasa kedudukannya terjepit, berusaha keras untuk melakukan pemutusan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting , dan diakui oleh pihak Inggris, bahwa pasukan Indonesia sulit di takhlukan sekalipun dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Kemenangan pasukan republik ini memberi dampak yang sangat besar,karena kota Ambrawa terletak di daerah strategis, karena apabila kota Ambarawa berhasil direbut musuh,maka akan mampu menguasai tiga kota utama jawa tengah, yaitu Surakarta, Magelang, dan terutama Semarang.
Pertempuran Medan Area
Pasukan sekutu dibawah pimpinan Brigadir T.E.D. Kelly mulai mendarat di Sumatera Utara pada tanggal 9 Oktober 1945. Kekuatan mereka adalah satu brigade yaitu brigade – 4 dari Divisi India ke – 26. Ikut serta membonceng mereka adalah orang – orang NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Pemerintah RI Simatera Utara sangat menerima kedatangan pasukan sekutu ke daerah mereka,karena mereka sangat menghormati tugas pasukan sekutu. Akan tetapi pasukan KNIL kembali berulah dengan mempersenjatai para tawanan, yang kemudian dijadikan pasukan KNIL yang dinamakan “Medan Batalion KNIL” .
Setelah itu banyak terjadi insiden yang diakibatkan oleh perilaku tentara NICA, seperti insiden di hotel jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Awal insiden ini diakibatkan oleh kejadian perampasan dan menginjak – injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang tentara, akibatnya hotel tersebut diserang oleh para pemuda, yang mengakibatkan jatuhnya korban 96 orang luka – luka, yang sebagian besar adalah korban dari pihak NICA.
Insiden ini menjalar di beberapa tempat seperti di Pematang Siantar dan Brastagi. Pada saat itu kekuatan pasukan republik belum besar, ini didasari oleh belum terbentuknya satu komando. Oleh karena itu pada tanggal 10 Oktober 1945 terbentuklah TKR Sumatera Timur yang dipimpin oleh Achmad Tahir. Yang kemudian diadakan pemanggilan tentara bekas giyugun dan heiho ke seluruh Sumatera Timur. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk pula badan – badan perjuangan.
Sebagaimana di kota – kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memberikan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada sekutu. Hal ini juga dilakukan oleh Brigadir T.E.D. Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober 1945. Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi diadakan suatu penyerangan terhadap sekutu. Para pemuda akhirnya membentuk pola serangan dengan sektor, sektor ini dibagi atas 4 sektor. Setiap sektor berkekuatan 1 batalion. Dibawah komando inilah kemudian melakukan serangan besar.
Pertempuran Bandung( Bandung lautan api)
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintahan Republik setempat dudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan pendudukan, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada sekutu. Seperti sikap para tawanan Belanda di kota – kota besar lainnya, para tawanan tersebut juga berbuat ulah, yang mengakibatkan bentrokan – bentrokan yang melibatkan TKR dengan Inggris. Malam tanggal 24 November 1945 TKR dan badan – badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. Ultimatum itu harus dilaksanakan paling lambat pukul 12.00 tanggal 29 November 1945. Dengan ultimatum itu, Inggris membagi kota Bandung menjadi bagian utara berada dibawah kekuasaan mereka, dan bagian selatan di bawah kekuasaan RI. Batas kota bagian utara dan selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.
Ultimatum itu di jawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos – pos gerilya di berbagai tempat. Selama bulan Desember terjadi beberapa kali pertempuran, antara lain di Cihargeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki, dan Viaduct. Sebenarnya Inggris berusaha merebut balai besar kereta api, tetapi gagal. Ketika berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater, mereka terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di Lengkong Besar.
Selama berlangsung pertempuran, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Inggris, melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Inggris meminta agar menyerahkan pasukan India kepada mereka, akan tetapi pasukan Indonesia yang diwakili oleh Panglima divisi III Jenderal A.H. Nasution, menolak menyerahkan kepada sekutu,
Serangan – serangan sporadis yang dilancarkan pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah menyebabkan Inggris “ bermain” di tingkat atas. Pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada perdana menteri Sjahrir agar selambat – lambatnya pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung selatan sejauh 10 sampai 11 Km dari pusat kota. Sjahrir memerintahkan Sjafrudin prawinegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita ke Bandung untuk menyampaikan ultimatum tersebut. Akantetapi perintah ini ditolak oleh Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintahan d Bandung,karena menurut mereka tidak mungkin memindahkan ribuan pasukan hanya dalam waktu sesingkat itu, sampai akhirnya mereka menemui Inggris untuk meminta agar batas waktu ditunda.
Pada sore tanggal 23 Maret Nasution bersama Sjafrudin dan Didi Kartasasmita ke jakarta untuk menemui Perdana Menteri Sjahrir. Demi alasan agar menyelamatkan TRI dari kehancuran, Sjahrir mendesak Nasution agar menuruti ultimatum Inggris. Sjahrir berpendapat bahwa TRI belum cukup kuat menghadapi pasukan Inggris. Kemudian Nasution meminta kepada pihak Inggris agar batas waktu ultimatum ditunda, tetapi keinginan ini ditolak oleh Inggris.
Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para komandan TRI, maupun laskar – laskar perjuangan dicapai kesepakatan untuk membumi hanguskan kota Bandung sebelum ditinggalkan. Akhirnya pada tanggal 24 Maret malam hari pada pukul 21.00, para pejuang Bandung membakar seluruh isi kota. Peristiwa inilah yang akhirnya dikenal dengan “ Bandung Lautan Api” .
Konsolidasi PKI
Kegiatan PKI sendiri mulai ofensif. Pada akhir tahun 1945 kontak-kontak ilegal dengan Front Rakyat-nya, membuat PKI terlibat dalam Peristiwa Tiga Daerah. Banyak orang komunis mulai bergerak secara legal, tetapi tidak sedikit yang menolak sehingga mereka melakukan aksi berontak di Cirebon di bawah pimpinan Mohammad Yusuf, Januari 1946. Pada tahun itu pula pihak Belanda memindahkan tokoh-tokoh komunis Indonesia dari negeri Belanda, serta mengembalikan tokoh-tokoh yang sudah lama dibuang ke Digul ke Pulau Jawa. Salah satu tokohnya adalah Sardjono, yang pada bulan April 1946 menjadi ketua partai. Tetapi tugas itu lebih banyak dipegang oleh Alimin yang baru pulang dari Rusia.
Secara nasional PKI melakukan konsolidasi partai pertama dalam atmosfer politik republik, yaitu Kongres Nasional IV di Surakarta pada bulan Januari 1947. PKI seolah-olah mendapat “suntikan baru” sejak kembalinya tokoh lama Muso. Karena meletus pemberontakan 1926, ia tertahan dan terus menetap di Rusia dan baru kembali pada tanggal 11 Agustus 1948. Ia menyamar bernama Soeparto, sekretaris Suripno. Dengan kembalinya Muso babak baru telah dimulai. Pada tanggal 25 Agustus 1948 diadakan sidang partai dengan agenda antara lain pembentukan front nasional. Konsep ini disetujui oleh Partai Buruh yang dipimpin Setiadjit pada tanggal 27 Agustus 1948, dan hal yang sama dilakukan Amir Syarifudin dari Partai Sosialis. Konsep ini oleh Muso dinamakan konsepsi Jalan Baru, dengan pokok-pokok sebagai berikut5:
Di bidang organisai, orang kiri seperti Partai Buruh (PNI dan KNI), harus melebur dan hanya membuat partai bernamakan partai PKI.
Dibidang politik, menentang politik luar negeri RI yang kompromistis, sedangkan untuk politik dalam negeri agar diadakan pembenahan struktur dan aparatur pemerintahan.
Sangat penting membentuk front nasional seebagai prasyarat tercapainya revolusi demokrasi, serta mengerahkan kekuatan massa untuk menghadapi Belanda.
Jalan Baru dimaksudkan sebagai koreksi, yang tidak hanya ditujukan kepada gerakan-gerakan komunis itu sendiri, tetapi sekaligus melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan atau keputusan pemerintah RI, terutama yang menyangkut politik luar negeri. Dalam hal ini RI banyak dirugikan, misalnya dalam perjanjian Renville, dimana RI menerima ketika kekuasaan teritorialnya semakin dipersempit sehingga puluhan ribu gerilyawan RI ditarik dari kantung-kantung ke dalam wilayah RI. Padahal perjanjian itu ditandatangani oleh tokoh kiri (FDR/PKI Amir Syarifuddin ketika memimpin kabinet tepatnya 3 Juli 1947-23 Januari 1948).
Dengan segera Muso mengaktifkan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ia dengan cepat menggeser pimpinan politbiro PKI yang dipegang oleh Sardjono dan Alimin. Kedua orang ini diserahi bidang propaganda yang ketuanya MH Lukman, seorang tokoh muda (berusia 28 tahun) PKI. Tokoh-tokoh lainnya seperti Suripno pengurus masalah luar negeri, Amir Syarifuddin memegang bidang pertanahan, Wikana (Pesindo) memegang bidang kepemudaan, Njoto di bidang perwakilan, dan DN Aidit (berusia 25 tahun) membidangi masalah buruh.
Babak baru perjuangan PKI ini ialah babak baru pelepasan. Sekembalinya Muso dari Rusia dia ingin sekali merealisasikan garis non-kooperasi yang dikenal di Soviet sebagai garis Dimitrov. Misi Stalin untuk menciptakan Internasionale dengan musuh Amerika dengan Eropa in jelas bertentangan dengan jalan perjuangan Nasionalis Indonesia yang lebih ingin memeakai cara kooperasi dan perundingan.
Pasalnya PKI baru dibawah kepemimpinan Muso, berbeda sekali dengan PKI saat masih diwakili oleh Tan Malaka. Perbedaan itu terlihat dari geliat agitasi dan propaganda. Persoalan kesejahteraan masyarakat kelas buruh yang menjadi tonggak utama perjuangan PKI pada masa Muso, jelas menjadi manifestasinya. Sedang pada masa Tan, Warna PKI lebih kepada Petani. Perbedaan ini kemudian dijadikan alat pula oleh pemerintahan Hatta. Pembebasan Tan Malaka dari penjara sebagai buktinya. Kendati demikian Tan Malaka sudah mulai kehilangan pengikut, karena memiliki perbedaan gagasan dengan Muso. Tan Malaka dianggap musuh oleh Muso, karena propagandha di Soviet bahwa Tan ialah penganut Trotskysme.6

Categories: