Mardjikers

Memandang Indonesia adalah memandang beragam suku bangsa, yang berdiam dalam banyak pulau

Tidak terasa sudah 65 tahun Indonesia merdeka. Bukanlah waktu yang sebentar, mengingat kala usia manusia sudah sampai pada titik itu manusia tersebut tidak lagi disebut sebagai manusia yang produktif. Beberapa perusahaan besar malah cenderung memberhentikan tenaga kerjanya saat berumur dibawah 55 tahun. Kebutuhan akan produksi yang terus menerus memaksa perusahaan lebih cepat membuang tenaga yang produktif.

Pasalnya memandang Indonesia yang konon berusia 65 tahun laiknya membaca novel tanpa klimaks. Beberapa patahan besar dalam garis sejarah membuktikannya. Semisal pada tahun 1965, saat peralihan kekuasaan − orde lama (Soekarno) menuju orde baru (Soeharto) tidak ada secuilpun perubahan yang signifikan terjadi, khususnya menyangkut kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan legitimasi selembar kertas yang sampai hari ini hanya menjadi mitos belaka, rakyat Indonesia berganti nahkoda.

Bagi Soeharto memulai memerintah sebuah negara adalah menghapus sekian banyak catatan sejarah−yang niscaya akan mengancam kekuasaannya. Sebagai sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam sangatlah wajar bahwa Indonesia menjadi rebutan. Bahkan setelah merdeka dari bangsa asing, berganti bahwasanya Indonesia harus rela menjadi media penjajahan baru yang dipakai oleh penguasa. Jauh panggang dari api. Kemerdekaan yang sudah di raih harus diberikan kepada si empunya kuasa, termasuk Soeharto yang berniat menjadikan Indonesia sebuah kerajaan.

Keberhasilan Arok sang Paria, menggulingkan Tunggul Ametung menjadi Inspirasi utamanya. Usai merevitalisasi beberapa catatan sejarah, dengan dalih pemberontakan, Soeharto membuat kambing hitam yaitu sebuah Ideologi yang jasanya tidak dapat dipungkiri besar untuk mengantarjan Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat. Sejarah baru pun di buat, seperti ungkapan Karl Marx “Kita adalah Sejarah” Soeharto beserta kroninya mentasbihkan dirinya sendiri dan kostrad sebagai penyelamat negara. Bahaya laten, unkapan kuno namun cukup populis, yang kemudian menghantarkan jendral bintang lima ini menjadi penguasa selama 32 tahun.

Kemudian patahan sejarah berikutnya adalah pada tahun 1998 ketika Tirani yang dijalankan sudah mulai rapuh. Perubahan sosial yang harus menumbalkan ribuan toko, serta nyawa kawan – kawan pelajar ini belum lunas terbayar. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan reformasi ini sering di anekdotkan menjadi repot nasi. Bayangkan setelah peristiwa tersebut terjadi bukan kesejahteraan bahkan kebangkrutan yang harus dialami. Beberapa benteng ekonomi Indonesia dipaksa gulung tikar. Namun, peristiwa 1998 adalah pelajaran. Tidak satupun perubahan itu berujung pada kemerdekaan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia untuk mengelola tanah dan airnya sendiri.

Membicarakan kemerdekaan Indonesia kita harus bersiap diri. Tanah yang tandus dan tiada berair, begitu kiranya analogi kemerdekaan Indonesia. Teringat akan pidato kepala sekolah saat masih duduk di bangku kelas 2 SMP, bahwa tugas generasi muda adalah mengisi kemerdekaan RI dengan belajar dan berkegiatan yang positif. Pasalnya kemerdekaan yang sudah dicapai, akhir akhir ini semakin bias adanya. Uforia demonstrasi dan kebebasan berorganisasi yang di dapat masyatakat hanya menjadi titik air hujan yang menghujam batu. Sayang batu yang harus di lubangi bukan sembarang batu melainkan batu koral yang maha cadas. Jerit hati rakyat negeri di depan bari kade panjang Istana negara hanya bergema di hantam kerasnya tameng polisi anti huru hara. Bahkan jeritan dan teriakan tersebut kian ternodai dengan uang yang menyumpal mulut mereka untuk berteriak.

Categories: