Surat Dari Tegal

Proklamasi 17 Agustus 1945 ternyata bukanakhir dari perjuangan merebut kemerdekaan dari Jepang. Akan tetapi masih banyak lagi perjuangan yag harus dilalui bangsa Indonesia untuk menjadi negara merdeka seutuhnya.

Tegal. Sebuah daerah, kota di Indonesia. Di pulau Jawa tentunya. Bila kita mendengar nama daerah ini mungkin yang paling kita ingat adalah Warungtegal. Yah, tempat makan, warung nasi yang harganya merakyat. Tapi bukan warteg yang akan saya bahas dalam tulisan ini.
***
Ketika pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Indonesia daerah Tegal merupakan potret kecil penindasan. Banyak kisah teragis menjadi warna dominan cerita rakyat mengenai daerah ini. Anton E Lucas dalam bukunya One Soul One Strougle mencoba mengajak kita mengenal tegal lebih jauh. Bukan hanya sebatas Tegal sebagai Propinsi, daerah penghasil Tebu melainkan Tegal dalam sebuah revolusi sosial.

Pertentangan kelas terlihat dengan jelasnya. Petani bertugas memproduksi padi hanya mendapat bagian 10 gr dari total panen yang sudah dibagi perhari. Rumah rumah para pengawas perkebunan beserta pegawai pemerintah lainnya beratapkan genting dan dibatsi oleh tembok tembok kokoh yang berdiri. Sementara rumah petanivgmpribumi penggarap sawah hanya beratap jerami, bahkan bertiang dari bambu. Pergolakan yang terjadi di Tegal merupakan sebuah rentetan kekesalan dan tumpahan perasaan rakyat terhadap penguasa.

Tegal termasuk kedalam basis pergerakan peristiwa 3 daerah. Didaerah ini pula berdiri basis basis kekutan bawah tanah pemasok informasi tentang keadaan perang diluar negeri yang diperoleh dari radio pemberian jepang. Pada tanggal tanggal 20 Agustus 1945 kelompok pemuda pelopor kembali membawa pesan kejakarta dengan isi Jagalah Kemerdekaanmu. Pesan tersebut tentunya merupakan serbuah peringatan peringatan secara keras bahwa perjuangan para kaum revolusioner belum selesai.

Para pejuang yang tak kenal lelah dengan penuh semangat tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam naskah proklamasi bahwa pemindahan kekuasaan dan lain lain di selesaikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Terlepas dari isi teks proklamasi itu sendiri perjuangan tidak berhenti sampai tanggal 17 Agustus 1945.

Selanjutnya seluruh kekuatan yang berbasis di daerah daerah, dengan segera mengabarkan bahwa Indonesia telah merdeka. Akan tetapi ketidaktahuan masyarakat didaerah tentang proklamasi mengakibatkan pangreh praja semakin represif terhadap para pejuang. Di keresidenan Pekalongan sendiri bupatinya masih dengan tegas menyatakan sikap untuk menunggu pendelegasian kekuasaan dari tangan Jepang.

Wujud keberpihakan tersebut adalah dengan tetap mengibarkan bendera Jepang di Alun alun kantor keresidenan. Beruntung para pemuda, lenggaong (Bandit), beserta rakyat yang terdidik tidak mau tinggal diam. Dengan kekuatan (pengaruh) Lenggaong yang mempunyai karisma di masyarakat, semua elemen bergerak untuk melakukan penurunan bendera Jepang tersebut.

Melihat peran lenggaong sendiri didalam basis pergerakan di Pekalongan khususnya di Tegal. Anton E. Lucas memaparkan ketika para jago berusaha mengusung pembebasan terhadap belenggu pangreh praja. Dalam hal penurunan bendera teringat insiden yang melibatkan tentara (genseikabu) Jepang dengan para Jago dari Tegal.

Kemudian dengan penuh semangat dan juga kesadaran bahwa “diJajajah” kemudian sudah merdeka. Rakyat semesta didukung oleh berbagai organisasi didalamnya turut bergerak bersama mengibarkan sang dwi warna.

Setelah itu apa yang terjadi dengan para Jago? Para jago yang digambarka Lucas hanya megambil peranan sebagai seorang yang bergerak melalu kekerasan. Citra yang didapat lewat perjuangannya yang sekali membenturkan diri langsung secara frontal dengan cara membunuh dan mencuri harta harta petinggi membuatnya menjadi kambing hitam atas seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di daerah. Khususnya keresidenan Pekalogan.

Jago dalam sejarah Indonesia juga berperan lewat berbagai oraganisasi. Seperti ungkapan Ong Hok Ham, “Rakyat yang menentang pemerintahan pada waktu itu sering dilihat sebagai organisasi organisasi para jago.” Sehingga pertentangan antara pemerintah kolonial dengan rakyat nusantara sering dianggap pertentangan antara bromocorah dengan penguasa resmi.

Terlepas dari itu semua kita tentu tidak begitusaja menyalahkan keterlibatan dari berbagai elemen terkait para jago. Baik pemerintahan kolonial maupun para pejuang sama sama memiliki para Jago. Akan tetapi sekali lagi para Jago tersebut bukan hanya Jago destruktif atau merusak. Bukan hanya Jago minum arak atau main Judi. Tapi Jago yang benar benar Jago yang memiliki pengikut serta ilmu kesaktian, bahkan sampai ada yang tidak bisa dihukum mati dan harus dibuang keluar daerahnya.

Apakah sikap dan mental jago masih penting di amana Intelektual? Relevenkah jago masih ada diruang akademik seperti kampus? Yang bisa menjawab adalah kaum intelektual. Jago tak lagi zaman karena masyarakat butuh pendidikan. Enyahlah kau jago jago kandang!!

Categories: