Surat dari Tegalan (Rawamangun)

Bukan hanya asap, tapi juga sedikit air. Ditemani alunan musik dari grup Band Boomerang, saya beranikan diri menulis surat ini. kelima jari ini sudah siap untuk menyusun huruf – huruf yang ada di keyboard.

Entah sebatas keresahan atau memang membutuhkan teman untuk berbagi. Kurang lebih dua minggu yang lalu saya baru saja berdialog dengan almarhum Pramudya Ananta Toer. Siapa tidak kenal Pram? Dengan karyanya yang begitu hidup, dia seakan membawa setiap pasang mata yang membaca karyanya hijrah ke seting tepat seperti deskripsi dalam karya tersebut. Meski hanya berbentuk novel, saya rasa buku tersebut layak untuk dijadikan referensi. Tidak tebal. Hanya 753 halaman.

Dialog saya dengan Pram berawal dari pertanyaan, bagaimana bisa terjadi konflik horisontal di Indonesia? Arus balik, pungkas Pram. Yah karya fenomenal tentang epos kedatangan bangsa asing beserta ajaran, dan nilai – nilainya yang baru. Sekitar tahun 1500an. Tepat setelah Majapahit runtuh. Kerajaan yang sempat menyatukan Nusantara. Pun demikian Majapahit tidak sepenuhnya hilang. Ajaran Hindu, Budha: Mahayana, Hinayana masih terus hidup.

Tuban menjadi contoh kerajaan yang diambil. Tuban, kerajaan yang letaknya dipinggir pantai. Meski kerajaan hindu Budha merupakan kerajaan yang terpusat di pedalaman pulau. Pusat dari tiap kerajaan ialah gunung. Kaki gunung, adalah kota tempat roda perekonomian kerajaan berlangsung. Ada petani, pedagang, dan peternak. Banyak pasar terdapat di kaki gunung, meski tidak seramai bandar – bandar di pesisir.

Tanah Tuban yang tandus, mengharuskan Adi Patinya untuk selelu mengharapkan pemasukan dari pesisir. Yah, cerita tentang riwayat pesisir di Nusantara. Epos bagaimana bangsa asing datang untuk memberi penghidupan pada banyak kerajaan pesisir. Dan Epos juga mengenai riwayat bagaimana agama dijadikan simbol untuk saling berperang, dan menaklukan.

Lembar – demi lembar menceritakan dengan detil maysarakat yang hidup pada masa kerajaan tersebut. mulai dari alat yang digunakan petani. Bagaimana masyarakt hidup dan berpengharapan dari membuat patung – patung dewa, dan bagaimana aturan di dalam kerajaan tuban berganti, seiring berubahnya kepercayaan masyarakat, tergantung dari pedagang mana yang masuk dan berdagang di Bandar Tuban.

Sejarah menjadi Rekonstruksi. Keterbatasan sumber, membuat penulisnya kemudian menginterpretasi cerita berdasarkan sumber yang ada dan beberapa sumber lain yang pernah di baca. Demikian juga Pram. Dengan Imajinasi, dan riset yang mendalam meski hanya berbekal satu buah catatan dari seorang pastur Portugis bernama, Silvestre Da Costa. Catatan kecil tersebut akhirnya dirasa tidak cukup meski telah diinterpretasikan dan di analisis berulang kali. Manifestasi akhirnya sebuah Novel.

Kemampuan seorang sejarahwan merekonstruksi masa lalu terbatas pada sumber. Ada banyak sumber tentang kehidupan masa lalu bangasa Indonesia, saat masih dalam bentuk Kerajaan – kerajaan kecil. Bahkan tidak sedikit sumber dari kerajaan besar yang dapat merekonstruksi kehidupan sehari hari. Pasalnya sangat sedikit Sejarawan mau andil kembali dalam menuliskan Rekonstruksi yang demikian. Pun demikian, kita mengenal nama nama seperti Slamet Mulyana, Kuntowijoyo, Moh Ali, Alwi Sahab yang memiliki integritas terhadap sejarah nasional. Akan tetapi dari nama tersebut sangat sedikit yang perduli dengan tema Indonesia masa Klasik. Dari buku SNI sekalipun, tidak banyak yang dapat direkonstruksi, selain urutan nama para raja yang berkuasa beserta kerajaannya. Persoalannya selama lima hari ke depan mungkin akan ada banyak sejarawan muda yang mencoba meniliti artefak. Menelususri jejak – jejak, siswa kerajaan majapahit di Trowulan.

Mudah – mudahan semangat dan interest tidak hanya sekadar jalan – jalan. Mencari dengan sungguh tidak peduli jika pada akhirnya tidak diketemukan. Persoalan sejarah seringkali berujung pada identitas. Apa dan siapa sesunggungnya Jawa kemudian Indonesia. Berharap keresahan ini tersampaikan, karena dalam uraian di lembar – lembar akhir Novel Arus Balik. Pram menyebut bahwa dahulu Nusantara pernah berjaya. Seluruh Dunia mengunjunginya. Tidak pernah sepi, dan hampir seluruh komoditas menyebar ke seluruh Jagad bumi Manusia, akan tetapi masa itu hari ini telah sirna.
Arus yang dahulu mengalir dari selatan ke- Utara kemudian berbalik. Lebih deras.

Menenggelamkan semua yang ada di selatan. Lewat arus deras dari Utara, manusia di Selatan menjadi berubah. Jika dahulu hidup rukun dan damai dengan berbagai simbol kepercayaan. Toh hari ini kepercayaan dijadikan alat pula untuk memecah belah. Arus dari Utara, terkait isu Terorisme, dan mahalnya harga minyak dunia, kemudian kebijakan pasar bebas yang tidak dapat dihindari. Pemegang peraturan dunia kini ialah negara negara di belahan dunia bagian utara. Tidak lagi di selatan.

Saya hanya mampu menulis surat ini. Membagi keresahan untuk semua orang yang saya kenal. Syukur bila anda ikut merasakan. Andai ada yang tidak, suatu hari kita akan mengalami kehilangan sebuah kekayaan yang teramat sangat tanpa kita sadari….

Categories: