Tulisan Pertama di 304

Bercengkrama dengan dingin, Di Usia Senja

Dengan secangkir minuman intisari, menikmati hiburan malam dangdutan dipinggir jalan. Temaramnya lampu yang menerangi ala kadarnya hiburan alternative rakyat kecil yang ada disekitar daerah kota.

Berangkat menantang gelapnya malam. Jam tangan dilengan menunjuk pukul 23.00 WIB. Bersama sama melipatgandakan semangat. Lamanya menunggu bus belum menyurutkan semangat. Malam ini saya beserta teman teman yang lainya berangkat dari sekertariat didaktika, untuk hunting berita. Hunting untuk pertama kali bagi kita kawan kawan baru yang masih dalam masa berproses. Hunting memang menjadi istilah perbendaharaan kata baru bagi kita.

Hunting sebenarnya merupakan bagian dari proses untuk membuat tulisan. Hunting dilakukan ketika kita telah melalui sebuah season dalam berproses yaitu kupikat. Hasil yang diharapkan nantinya kita dapat menuliskan apa yang kita dapat dari hunting tersebut. Baik dari topik, atau hal yang naninya akan kita tulis menjadi sebuah berita ataupun bentuk tulisan yang lain.

Perjalanan yang cukup melelahkan untuk tiba di kawasan kota tua. Banyak sekali pengalaman baru yang tak terlupakan yang kita alami. Blum tiba di tempat lokasi hunting. Kita diharuskan untuk mnahan rasa kantuk, dengan berjalan kurang lebih sejauh 500 m. Tak disangka dengan berjalan dapat membunuh rasa kantuk.

Begitu tiba dihantui rasa bingung yang teramat sangat. Mau nagmbil tema (topik) apa ya bwat dijadiin tulisan? Hmm pertanyaan itu yang kerap kali menghantui. Namun perasaan seperti itu tak bertahan lama hinggap. Segera saja diusir dengan mulai mendapat aspirasi dari suasana malam disekitar lokasi Museum Jakarta (kota tua). Terkejut memang, disepanjang jalan belakang kota tua terhampar susana seperti konser dangdut.

Meluapnya sarana hiburan malam hingga kepinggir jalan memang bukan suatu kesalahan. Sudah menjadi hak bagi setiap manusia untuk mendapat hiburan. Sebagai pelepas penat setelah beraktivitas hiburan tentu saja sangat diperlukan. Hiburan yang satu ini memang berbeda. Yaitu sebuah tempat nongkrong, seperti layaknya “kafe” tetapi lebih merakyat. Tidak ada dinding dinding mewah, dan daftar menu dalam kafe ini. Sebuah meja dan kursi seadanya, menjadi fasilitas duduk menikmati nyanyian, atau sekedar ngobrol bersama teman.

Disebuah sudut hiruk pikuk tempat hiburan tersebut terlihat seorang tua bersama anjingnya yang sedang menikmati kesendirian. Adalah pak Boy lelaki paruh baya yang sedang menenggak Intisari. “Ade mau?” Tegur beliau. saya pun merasa kaget. Silaunya cahaya dari lampu kendaraan yang lalu lalang menghalangi pandangan saya. Ketika melihat beliau dari jarak satu langkah. Mungkin terkesan naif. Saya pun menolak tawaran beliau. Selanjutnya kami pun berbincang layaknya seorang teman. Beliau berkata kata lepas tanpa beban.

“Saya mah udah lama de tinggal disini dari mulai kecilan, suka maen bola disepanjang jalan ini. Sekarang udah banyak motor ma mobil” pak Boy sambil melanjutkan mengunyah singkong gorengnya. Kendati seorang yang sudah berumur namun beliau sama sekali tak menggambarkan kendurnya semangat hidup. Kerasnya kota Jakarta tak membuatnya takut untuk keluar dimalam hari pada usia senja.

“Saya mah enjoy aja jalanin hidup, gak usah dibawa pusing. Umur boleh tua tapi klo soal maen, minum mah masih semangat anak muda”. Ungkap si bapak sambil terkekeh. Memang luar biasa manusia yang saya temui saat ini menabrak semua stigma yang berlaku dimasyarakat. Kalo boleh meninjam kutipan lagu “tua tua keladi”. Terang bulan menambah suasana hangat antara kami berdua mengobrol lama dan tambah saling mengenal.

Selanjutnya pak Boy pun mulai bercerita tentang pendidikannya. “Saya sekolah tidak sampai tamat nak, wong abis SD langsung keluar. Gak kuat biayanya”. Cerita klise memang tidak meneruskan pendidikan akibat biaya. “Loh terus bapak kerja, atau?” tanyaku penasaran. “Yah bapak sih waktu dulu diajak belajar kerja, beresin bola meja biliar”. Jawabnya datar. Lambat tapi pasti ketika mengobrol dengannya terbesit perasaan lirih disertai rasa bersyukur yang tak terhingga. Kejamnya tanah kelahiran telah merenggut masa kecil seorang pak Boy.

Lelah dengan kehidupan sehari harinya iya pun mulai hidup dalam dunia yang tidak bersahabat. Bocah kecil yang belum tau hitam putihnya dunia kini dikenalkan pada rimba belantara yang kejam. Menggadaikan masa belajar demi beberapa lembar uiang ribuan. Pak boy begitu asik menikmati minuman yang menghangatkan di cangkirnya. Terus dan terus. Tak mengherankan beliau masih kuat menenggak berbotol botol di usianya yang senja. “saya mah kenal ginian dari bocah de” jadi yah sampe sekarang dah biasa. Setelah bebrapa tegukan kakek pun melanjutkan pembicaraannya. “Klo bisa milih mah, yah mendingan sekolah aja, gak ribet gak harus dimarahin dan juga mungkin sekarang gak beakhir disini”. Boy berkata sambil menghisap gudang garam merah. 30 tahun bergelut di wilayah sekitar kota tua.

Pak boy dikenal oleh orang orang sekeliling baik tua maupun muda. Yah beliau yang paling tua (yang dituakan-red). “Klo kamu maen maen ksini tanya aja yang namanya pak boy pasti tau semua”. Tukasnya. Pak boy pun menambahkan lagi, klo malem minggu sering sering aja maen kesini gak usah takut kenapa napa, bilang ajah anaknya pak boy udah pasti semua kenal dan gak akan ganggu”. Ujarnya bersemangat. Dilematika terbesit saat teringat bahwa beliau memiliki anak istri dirumah. Apakah beliau merasa terbebani atau enjoyaja. Beliau pun mengungkapkan bahwa istrinya sudah lama pergi meninggalkannya, kemudian anak anaknya sudah bekerja dan sibuk mengurusi keluarga masing masing. “Jadi bapak hanya sendirian disini?”. Tanyaku ketus. “Ya gak donk kan ditemenin si Jeky” sambil mengelus anjingnya.

Ingin rasanya terus berbincang dengan beliau tentang gerlap kerlip dunia malam di belakang museum kota dan tentang perjuangan beliau menghadapi hidup yang keras. Namun waktu juga yang memisahkan. Terang bintang semakin menyeret jiwaku. Membujuk anganku tuk segera kembali berkumpul bersama yang lain. Kata salah satu kakak kita disuruh pada kumpul jam 01.00 paling lama. Jadi meskipun rasa penasaran dan masih banyak simpul pertanyaan diotak yang harus kulepaskan. Terpaksa kuakhiri percakapan dengan pak boy. Seorang Preman senior. Hidup dan besar melawan buasnya kota, dan mahalnya biaya pendidikan. Lihat sekitar camkan dan jangan berhenti, sampai kau menemukan sesuatu yang kau cari. Tiada lagi kata yang terucap dari mulut beliau. Mengiringi langkahku yang semakin menjauh dari dirinya. Kemeriahan dari pesta dangdut pinggir jalan mencoba membujukku untuk tetap tinggal, tetapi janji tak bisa ditawar lagi.

Kumelangkah sendiri dalam gelapnya malam. Menuju sekumpulan orang orang yang kukenal dan sedang asik berfoto foto. Huph, malam hunting pertama telah selesai tinggal semangat untuk menjadikan hasil wawancara ini menjadi sebuah tulisan yang tersisa. Mengantar dinginnya tubuh yang terbalut titik titik embun. Bersama kawan kawan dan seluruh panitia kami beranjak pergi meninggalkan kota tua. Bayangan sudah tertuju pada mimpi indah di sekretariat didaktika, akan tetapi ternyata kita gak langsung balik ke gedung G, namun mampir dulu ke sunda kelapa. “Refresh otak jalan jalan dikapal gde gde” kata Desy. Langkah terasa semakin ringan ingin rasanya berlari tapi tak bisa karena harus menunggu yang lain.

Sepertiga malam terakhir telah menjelang dan akhirnya kami pun tiba di pelabuhan Sunda Kelapa barisan kapal menghampar. “Nyari yang paling gde aja biar puas naeknya”. Terdengar bisik samar samar dari belakang. Kami akhirnya menaiki kapal yang paling besar tak bisa berhenti mengagumi berbagai isi dari kapal. Ada yang melakukan adegan Kate winslet dalam Titanic, ada yang sibuk berfoto. Raga pun terpatri seakan tidak ingin pulang dan harus rasanya membuat waktu berhenti di detik ini.

Categories: