Catatan Kecil Sebuah Ruang

Sebagian besar manusia penghuni kota sendiri cenderung menganut “Ideologi Perut” di setiap ranah yang disinggahi....

Kota adalah sebuah ruang, tempat harapan manis, realitas yang pahit, sekaligus kekejaman kebijakan aparatus negara terlihat. Masyarakat yang hidup didalam kota beraneka ragam. Dari mulai pedagang, pelajar, pegawai pemerintahan (Birokrat), kaum urban, kaum marjinal, hingga kaum Hedonis (Pecinta kesenangan).

Siapakah pemilik kota? Kota merupakan tempat tidak bertuan. Setiap makhluk apalagi manusia mempunyai hak yang sama atas kota. Tidak ada perbedaan dan larangan untuk datang ke kota. Baik sekedar untuk tinggal sesaat, ataupun menetap menjadi bagian didalmnya.

Setiap harapan dan impian untuk “menjadi” telah bercampur dalam sebuah kota. Karena itu setiap konflik dan harmoni berjalan beriringan. Sebenarnya apa yang selalu terlihat di kota adalah apa yang sudah dibuat oleh siapa yang ada didalamnya. Demikian layaknya sebuah premis yang dapat terbentuk.

Seluruh hasrat yang dapat membangun sekaligus menghancurkan kota. Akan tetapi kota dengan segala realitasnya hari ini hanya untuk kaum berpunya, kaum elite, yang dapat menggunakan akses di dalamnya. Akses terhadap fasilitas, hiburan, pekerjaan. Laju pengetahuan dan arus informasi mungkin telah berujung kepada klaim kota untuk sebagian masyarakat saja.

Ditambah lagi dengan pembangunan pusat pusat perbelanjaan yang menggusur lahan lahan pemukiman penduduk, semakin mempertajam konflik kepentingan serta penegasan kembali kaum elite sebagai pemilik kota.

Perjalanan Kota.
Sedikit menoleh ke masa lalu, kota tertua berada pada lingkaran bulan sabit. Antara sungai eufrat dan tigris. Yaitu disekitar mesopotamia, sekarang Irak dan Syria Timur. Daerah yang amat subur tentunya dan ditunjang dengan sumber air yang mudah. Peradaban dalam kota tersebut sering disebut dengan peradaban Timur dekat.

Selanjutnya kota mengalamai perkembangan yang pesat. Di Indonesia sendiri pada awalnya kota merupakan lahan strategis untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakannya. Seperti lewat perdagangan, pajak yang dibebankan kepada masyarakat, hingga uji coba teknologi terbaru.

Seperti pada zaman kerajaan mataram ketika Amangkurat I membuat sebuah perjanjian dengan VOC tentang penutupan kota pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa. Amungkurat I menjadikan sebuah kerajaan yang dipimpinnya menjadi sebuah boneka setelah perjanjian tersebut.

Berbeda dengan Malaka sebuah kota yang menjadi kota pelabuahan cukup strategis mampu menarik pelaut pelaut asing portugis untuk berdagang, yang akhirnya mereka tergiur akan kemewahan dan kekayaan berupa rempah rempah. Pelaut pelaut tersebut yang nantinya mendatangkan sistem kolonialisme lewat monopoli perdagangan di Nusantara.

Realitas.
Memang hari ini kita tidak akan menemui gambaran strategis kota kota pelabuhan seperti dalam catatan catatan sejarah. Hari ini di sebuah kota seperti Jakarta sebagai cerminan ibu kota negara yang dapat dinikmati hanyalah kepadatan lalulintas, berbagai persoalan sosial yang tak kunjung ketahuan solusi, kemudian sepatu sepatu penindasan yang di hentakan oleh pemerintah daerah.

Tingginya angka kriminalaitas di kota yang menjadi aset utama berita berita kriminal di televisi menjadi permasalahan yang tidak terlewatkan. Mungkin masyarakat Indonesia sudah terbiasa mencari kambing hitam atas sebuah permasalahan. Dengan menggunakan pisau analisa “WHO” tanpa tahu analisa berikutnya “WHY”, “WHERE”, “WHEN”, dan seterusnya.

Selanjutnya pemda DKI Jakarta menghakimi kaum urban masyarakat kota Jakarta sebagai penebab tingginya angka kriminalitas, banjir yang selalu menggenangi kota jakarta. Lewat PERDA No. 4 tahun 1998 (Ketertiban Umum) pemerintah melarang hajat hidup orang banyak di Jakarta.

Perjalanan kota khususnya Jakarta memang tidak sebentar. Namun ketika matahari terbit di langit langit kota. Jakarta melenggang pula dengan berbagai aktifitasnya. Seolah manusia manusia yang ada di dalamnya layaknya seorang robot yang hanya mengandalkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

Meminjam pendapat Plato tentang negara, Plato menganalogikan negara terbagi kedalam tiga bagian yaitu Kepala, Dada, dan Perut. Kepala sebagai bagian atas dari sebuah Negara yang berarti sebagai Induk yang mengatur seluruh kegiatan dari dada hingga perut. Sebagai simbol keberanian kekuatan dan kekuasaan negara terhadap wilayahnya adalah dada. Selanjutnya tempat bersarangnya segala keinginan untuk menjadi, nafsu Individual kemudian keinginan sesaat adalah perut.

Sebagai pelepas dahaga rasanya wajar saja bila sebagaian masyarakat kota mengandalkan sebuah fasilitas hiburan dan hidup didalamnya. Apalagi kemudian untuk menjadikannya sebagai lahan untuk mencari nafkah dan bekerja. Yang menjadi persoalan adalah ketika masyarkat kota sendiri sudah menggunakan “Idelogi perut” dalam ranah interaksinya kepada sesama.

Sayangnya lewat fasilitas dan berbagai kemudahan yang disediakan oleh pemerintah terhadap “kaum berduit” telah hampir menghilangkan esensi kemanusian masyarakat kota.

Lalu ketika nantinya masyarakat Kota telah telah “BerIdeologi Perut” bagaimana dengan nasib kaum urban dan masyarakat kelas bawah di Kota. Jakarta sendiri telah bersikap kurang ramah terhadap berbagai perda dan kebijakan penggusurannya. Beruntung hari ini pemerintah telah melegalkan kebijakan Otonomi daerah, jadi kota kota lain di daerah bisa mengambil sikapnya sendiri terhadap kaum urban serta masyarakat kelas bawah.

Semoga masyarakat kota Jakarta dan Kota kota besar lainnya tidak menganut “Idelogi Perut” sepenuhnya. Kemudian kaum urban dan masyarakat kelas bawah masih di beri luang untuk hidup. Karena ketidak merataan lapangan kerja dan pembangunan fasilitas, serta pendidikan di Negeri ini adalah tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.

Categories: ,