Enam Tahun Yang Lalu

Enam tahun yang lalu. Mungkin wajah ini masih terlihat unyu-unyu. Kedua mata ini belum terlihat sayu. Enam tahun yang lalu aku berterimakasih kepada tuhan yang maha esa. Atas segala ridhonya untuk bahagiakan orang tua. Akhirnya aku masuk salah satu universitas negeri di Jakarta. Meskipun tidak berhasil tembus masuk universitas negeri di Yogyakarta. Waktu itu ujian masuk perguruan tinggi negeri masih digelari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Enam tahun yang lalu mungkin aku belum tahu. Apa itu pendidikan? Apa itu kemanusian? Apa itu memanusiakan? Apa itu apatis? Apa itu oportunis? Apa itu pragmatis? Komunis? Ahhhh dan segudang konsep-konsep yang bahkan dalam kehidupan sehari-hari hanya bisa dimengerti sedikit kelompok, yang membusungkan dada, mengaku kelompok ‘intelektual’. Banyak sekali yang ku tak tahu tentang perguruan tinggi. Tidak terkecuali juga dengan segala tetek bengek ideologi, yang aku tahu hanya untuk lulus dengan secepat-cepatnya agar orang tua bahagia. Oh ya, sudah dua paragraf aku berkata-kata, tapi belum juga ada nama. Nama ku Oce Fia La Gloria. Aku dibesarkan dalam keluarga biasa saja. Tidak miskin, tidak juga berlebih harta. Ibu ku seorang Pegawai Pemerintahan, yang pada masa Hindia Belanda di juluki Ambtenaar. Ayah ku membuka sebuah kedai, dipinggir jalan tidak jauh dari rumah. Kata Ayahku seberapa pun mahal harga makanan orang tetap akan membelinya, karena untuk hidup mereka membutuhkan makanan. Jadi bisnis kuliner dinilai paling tepat, untuk mengisi masa tuanya. Aku memiliki seorang adik. Seorang perempuan. Banyak orang bilang perempuan lebih cepat dewasa secara psikologi ketimbang pria. Ah, akan tetapi adiku yang satu ini tidak begitu adanya. Di usianya yang sudah kepala dua, terkadang ia masih minta tidur satu kamar dengan Ibu. Terlalu. Alhasil ayah ku harus mengalah melulu. Walau begitu secara keseluruhan hidupnya boleh dibilang lurus-lurus saja ketimbang teman-teman sebaya-nya di belahan lain Indonesia. Wajar saja bila ia menikah lebih dulu dari kakaknya. Lori. Begitu orang menyebutku. Meskipun dari sisi nama aku terlihat seperti perempuan namun dalam hati dan kehidupan sebenarnya aku sungguh pria luar dan dalam. Seperti umumnya anak lelalaki seusiaku, orang tua memberikan kepercayaan penuh kepadaku dalam menjalani kehidupan. “Boleh bebas asalkan bertanggung jawab,” begitu pepatah Ayahku yang selalu ku ingat. *** Bulan September awal 2007 ku awali perjalanan ku di kampus negeri. Ada acara tidak jelas sama sekali juntrungannya yang kuikuti.

Kalau tidak salah namanya (Masa Pengenalan Akademik) MPA. Haduh, benar-benar tidak jelas mulai dari isi acara sampai dengan panitianya. Ah, acara ini sering diplesetkan dalam selebaran berjumlah 8 halaman sebagai Masa Penindasan rAhasia. Meskipun ospek sudah dihapus, tapi pada prakteknya perpeloncoaan tetap ada. Bayangkan saja, sebagai mahasiswa baru laiknya kita mendapat pengarahan bagaimana sistematika birokrasi, fasilitas-fasilitas apa saja yang dimiliki kampus untuk mendukung pembelajaran, aturan-aturan baik tertulis maupun tidak dalam menjalani perkuliahan, dan tempat-tempat strategis untuk berdiskusi atau sekadar minum kopi. Tapi sebaliknya aku bersama teman-teman satu angkatan malah disuruh membuat lagu-lagu tidak penting, mengikuti ceramah, yang isinya tidak lebih baik dari khotbah Jum’at. Alhasil ketika menjalani masa petualangan yang harusnya diisi dengan sepenuh-penuhnya oleh eksperimentasi keresahan lewat gagasan dan tulisan, sebagian teman-teman angkatan ku malah berprofesi sebagai tukang dengar para dosen. Mereka seperti kerasukan setan patuh. Ingin rasanya aku juga bisa seperti mereka. Tapi memang dasarnya bengal aku tidak bisa ikut aturan begitu saja. Toh, ada pameo dalam masyarakat kita ‘aturan ada untuk dilanggar’. Sejak bersekolah memang aku sudah tidak menyukai segala hal yang bersifat mengekang kebebasan untuk menjalani kehidupan. Sebagai manusia yang sejak dilahirkan memiliki kehendak bebas, aturan memang diperlukan. Selagi dalam prakteknya hal itu tidak mengurangi kemanusian. Awalnya diri ini memang mengikuti sekian banyak aturan dalam buku tebal berjudul Pedoman Akademik Mahasiswa, akan tetapi hal tersebut tidak berjalan lama. Pada prakteknya sekian banyak regulasi tersebut hanya dijalankan oleh mahasiswa bukan seluruh civitas akademika. Sebagai contoh, hari pertama dimulainya perkuliahan. Mungkin ini juga bagian dari realita yang tidak sesuai dengan seharusnya. Masa MPA sudah selesai. Idealnya perkuliahan sudah mulai aktif, akan tetapi keadaan ruang kuliah sepi senyap. Setelah dua jam menempuh perjalanan dari rumah ke kampus aku menemui ruang kelas yang kosong. Apa mau dikata, ternyata dosen tidak ada. Kalau hanya satu dua hari saja mungkin aku masih mahfum akan tetapi hal tersebut berjalan selama kurang lebih dua minggu. “Hadeuuhhh” gumam ku dalam hati. Tidak hanya begumam, tapi belakangan aku lebih sering memaki bila mengingat moment ini. Kurang lebih begitulah aturan berjalan. Kebetulan pada saat awal berkuliah aku masih sering berkunjung ke SMA, tempat ku dulu belajar. Dari sana aku melakukan riset, beruntung guru baru yang mengajar Bimbingan Karir (BK) merupakan salah satu alumni universitas negeri tempat ku berkuliah. Oh, iya sejak SMA memang diriku sudah terbiasa mengikuti kegiatan di luar jam belajar normal sekolah. Sebutan kerennya ekskul (Ekstrakurikuler_red). Tradisi ini nampaknya muncul kepermukaan lagi. Lantaran kekecewaan terhadap sistem perkuliahan, riset tentang kegiatan kemahasiswaan pun kulakukan. “Di Universitas itu ada dua Unit Kegiatan Mahasiswa – semacam ekskul di universitas – yang pola pengkaderan – perekrutan anggota baru untuk melanjutkan estafet kepengurusan organisasi – masih bagus,” ujar Ari Rama, guru BK, yang juga ternyata membina ekskul tempat ku dulu berdinamika di SMA. Pak Ari, begitu ku menyapanya, pria bertumbuh lumayan gempal ini kemudian melanjutkan penjelasannya. Tanda Cipta dan Gramatika merupakan dua Unit Kegiatan yang masih cukup baik berjalan menurutnya. Tanda Cipta merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa, yang fokus kegiatannya tentang beragam aktifitas di alam terbuka, seperti mendaki gunung, menelusuri goa, memanjat tebing, mengarung sungai. Ah, tidak jauh berbeda dengan ekstrakurikuler ku ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, sedangkan Gramatika merupakan sebuah Unit yang berkegiatan di seputar dunia jurnalistik. Gambaran awal dalam benakku tentang unit yang kedua disebut ialah sebuah organisasi yang melakukan kerja-kerja jurnalistik, misalnya menulis, melakukan penerbitan, tidak terkecuali membaca. Nah, pasti disana (Gramatika) terdapat sesuatu yang baru dan berbeda dari pengalaman ku di bangku Sekolah Menengah Atas. Langsung saja, pada minggu ketiga setelah MPA aku mendaftarkan diri ke Gramatika. Ruangannya berada di Lantai tiga, sebuah gedung khusus – layaknya markas bagi seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa – bernomor 304. Aku mendaftarkan diri kesana ditemani seorang sahabat bernama Sania Harahap. Ruangan tersebut terbilang besar, didalamnya terdapat banyak poster, yang kalimat-kalimatnya aneh, misalnya “Sita Harta Soeharto”, “Hapus Hukuman Mati”, ah dan banyak lagi aku tidak ingat satu persatu. Tapi ada tulisan paling aneh, yang tertulis di sebuah lemari kayu, sepertinya di tulis menggunakan tipe-x atau cat berwarna putih, tulisan tersebut samar-samar terbaca “Demonstrasi Yok”, satu keanehan lagi, mengingat bayangan awalku bahwa Unit ini berkegiatan seputar dunia Jurnalistik. Setelah mengisi sebuah formulir yang didalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan rumit, aku kemudian diwawancarai oleh salah seorang pengurus unit tersebut. Belakangan aku mengetahui bahwa jabatannya ialah kaderisasi. Aku lupa namanya, sepertinya diawali dengan ejaan huruf Z, ah tidak penting. Bagian penting dari pendaftaran ini adalah setelah-nya aku langsung menginap di sekertariat ini, mengingat rumah ku jauh, dan keadaan badan sudah lemas. Hari tersebut merupakan hari bersejarah dalam hidup ku, karena cerita selanjutnya dalam kehidupan ku tidak lagi cerita tentang keinginan untuk melawan segala aturan. Melainkan hanya sebagian besar aturan yang karenanya jutaan masyarakat Indonesia meinggal kelaparan, ribuan anak-anak terpaksa menjadi pengangguran di jalanan. Begitulah hari pertamaku menyambangi sebuah organisasi, yang para pengurusnya digelari wartawan kampus oleh kawan-kawan mahasiswa lainnya. Peristiwa tersebut kurang lebih terjadi enam tahun yang lalu. Seudahnya, banyak kisah, pegetahuan, dan pencerahan yang kudapat dari ruang 304. Darisana kubelajar mengenal benar dan salah tidak hanya dari doktrin agama melainkan logika dan realita. Dari sana ku juga belajar tentang betapa tidak adilnya kehidupan yang berjalan dalam sebuah negara. Tapi kesemuanya tidak hanya kudapat dalam satu dua semster saja. Melainkan melalui ratusan hari tanpa berhenti membaca dan berdiskusi. Kisah ini belum berhenti, ku rasa, enam tahun yang lalu cukup untuk mengawali.. selamat pagi, selamat berhari Senen..

Categories: , , ,